A. Pendahuluan
Masyarakat
di negara berkembang dewasa ini telah meninggalkan sumberdaya lokal yang mereka
miliki, bahkan berusaha melupakan teknologi tradisional yang lebih mandiri dan
ramah lingkungan. Kearifan lokal dan teknologi tradisional yang telah
berkembang di masyarakat secara perlahan tergusur oleh kemajuan iptek, sistem
dan modal yang berasal dari impor.
Iptek
dan inovasi impor di satu sisi memang mampu meningkatkan produksi (produk
massal), tetapi di sisi lain membuat petani tradisional menjadi lebih miskin. Hal
ini karena inovasi impor dan efisiensi menuntut ketersediaan modal (padat
modal) dan peningkatan skala usaha, yang ternyata sulit dicapai oleh peternak kecil atau petani tradisional
yang umumnya miskin.
Demikian
pula di Indonesia, perkembangan industri peternakannya sangat bergantung pada
impor, baik itu bibit dan bakalan (ayam 100%, feeder cattle 400.000
ekor/tahun), pakan (kedelai, jagung, tepung ikan, MBM), maupun teknologi
pengolahan dan pemasarannya (susu). Hal ini berdampak pada: (1) langsung maupun
tidak langsung, perkembangan usaha peternakan rakyat secara perlahan tapi pasti
terhambat atau tergusur peranannya; (2) usaha peternakan semakin tidak mandiri
dan rentan terhadap perubahan global; serta (3) margin per satuan unit usaha
ternak semakin kecil. Itulah sebabnya dikatakan bahwa sistem produksi seperti
ini tidak sustainable/tidak berkelanjutan.
Kondisi
tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa pembangunan peternakan di Indonesia
belum sepenuhnya didasarkan pada potensi dan ketersediaan sumberdaya lokal
(sumberdaya genetik, pakan dan teknologi), tetapi justru mengikuti irama atau
keunggulan kompetitif yang dikembangkan negara maju. Hal inilah yang
menyebabkan tingkat ketergantungan peternak pada teknologi dan bahan-bahan
input dari luar negeri (eksternal
input) terus meningkat. Tentu saja ini akan berdampak pada meningkatnya biaya
produksi dan memperkecil keuntungan yang diperoleh peternak.
Oleh
karena itu, pembangunan peternakan Indonesia sudah seharusnya tidak hanya
terfokus pada upaya untuk mendorong konsumsi protein hewani, meningkatkan
produksi, maupun mewujudkan swasembada. Namun, pembangunan peternakan juga
harus menekankan upaya mewujudkan kemandirian, ketahanan pangan hewani,
kesejahteraan peternak dan keberlanjutan usaha.
Upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan mensinergikan keunggulan komparatif dengan
inovasi lokal yaitu mengembangkan model peternakan yang sesuai dengan kondisi
agroekologi dan sosial budaya masyarakat. Tujuannya yaitu untuk menekan
seminimal mungkin input dari luar, sehingga dampak negatif sebagaimana yang
disebutkan di atas semaksimal mungkin dapat dihindari, dan usaha peternakannya
dapat berkelanjutan.
Salah
satu alternatif yang dapat dikembangkan dalam rangka mewujudkan pertanian
berkelanjutan yaitu melalui Pengembangan Integrated Farming System (IFS)
atau Sistem Pertanian Terpadu (SPT). Sistem pertanian terpadu merupakan sistem
pengelolaan (usaha) yang memadukan komponen pertanian, seperti tanaman, hewan
dan ikan dalam suatu kesatuan yang utuh. Definisi lain menyatakan bahwa SPT
adalah suatu sistem pengelolaan tanaman, hewan ternak dan ikan dengan
lingkungannya untuk menghasilkan suatu produk yang optimal dan sifatnya
cenderung tertutup terhadap masukan luar (Preston, 2000).
Sistem
pertanian terpadu ini sebenarnya dapat memberikan dampak positif yang
signifikan dan telah memenuhi kriteria pembangunan pertanian berkelanjutan
karena berbasis organik dan dikembangkan/diarahkan berbasis potensi lokal
(sumberdaya lokal). Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan
sistem ini masih lamban dan belum memenuhi kaidah keterpaduan sistemnya.
Petani
pada umumnya menerapkan sistem ini masih bersifat parsial, artinya pengelolaan
masing-masing komponen sistem masih terpisah atau sendiri-sendiri, misalnya ternak saja atau tanaman saja
atau ikan saja. Padahal dalam pengelolaan sistem pertanian terpadu ini mencakup
beberapa subsistem pengelolaan, antara lain pengelolaan tanaman terpadu (Integrated
Crop Management/ICM), pengelolaan nutrien terpadu (Integrated Nutrient
Management/INM), dan pengelolaan ternak terpadu (Integrated Livestock
Management/ILM).
Nurcholis
dan Supangkat (2011) menyatakan bahwa beberapa hal yang masih menjadi kendala
dalam pengembangan SPT sehingga belum dapat berkembang secara optimal dan
meluas di masyarakat petani, antara lain: (1) Belum dipahaminya SPT secara
benar oleh berbagai pihak (petani maupun fasilitator); (2) Tingkat hasil dan
produktivitas SPT belum meyakinkan petani pada umumnya; (3) Model SPT yang dikembangkan
belum sesuai dengan kondisi ekosistemnya; (4) Integrasi vertikal dan horisontal
belum didasarkan pada potensi lokal; (5) Keberadaan integrator dalam SPT belum
diperhatikan; (6) Belum ada kajian secara komprehensif dan integralistik
berkaitan dengan SPT; dan (7) Kebijakan pembangunan pertanian belum mendukung
secara jelas pengembangan SPT.
Berangkat
dari permasalahan di atas, maka berikut
ini akan diuraikan salah satu model integrasi pertanian-peternakan-perikanan
dalam suatu agroekosistem
pekarangan serta bagaimana strategi pengembangan model di masyarakat.
Pekarangan dipilih sebagai tempat pengembangan model integrasi ini karena
merupakan lahan yang bersifat multifungsi, diantaranya adalah pekarangan dapat
digunakan sebagai tempat budidaya tanaman, hewan dan ikan dengan input yang
rendah dan dapat dipraktekkan secara berkelanjutan. Model integrasi di
pekarangan ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan sistem
pertanian terpadu di Indonesia dalam upaya menuju kemandirian dan kedaulatan
pangan serta pembangunan pertanian berkelanjutan.
B. Model Integrasi
Ayam-Ikan Gurami-Pepaya-Sayur di Pekarangan
Gambar
1 di bawah ini menunjukkan suatu
model integrasi untuk pertanian berkelanjutan dengan memadukan tanaman, hewan
ternak dan ikan dalam satu agroekosistem pekarangan. Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa komoditi yang dipilih dalam model ini adalah ayam untuk hewan
ternaknya, gurami untuk jenis ikannya, serta pepaya, kangkung dan sawi untuk
tanamannya.
Beberapa
alasan mendasar dalam memilih komoditas tersebut adalah: (1) masing-masing
komoditi yang dipilih sudah terbukti berhasil dibudidayakan di lahan sempit dan
terbatas seperti di pekarangan rumah; (2) memiliki kandungan nutrisi tinggi
untuk pemenuhan gizi masyarakat; (3) termasuk dalam komoditas pertanian
bernilai ekonomis penting; (4) pasarnya luas; serta (5) mudah dalam
pemeliharaan/budidayanya. Pengintegrasian komoditi-komoditi ini dalam
suatu agroekosistem pekarangan akan berdampak signifikan dalam mengurangi biaya
yang diperlukan untuk input seperti pupuk dan pakan, meningkatkan pendapatan,
serta lebih ramah lingkungan karena menerapkan sistem pertanian organik dan zero
waste.
Gambar 1.
Integrasi Ayam-Ikan-Gurami-Pepaya-Sayur
Ayam
dapat dipilih dari dua jenis, yaitu ayam kampung atau ayam broiler. Masa panen
ayam kampung petelur ± 6 bulan, sedangkan ayam kampung pedaging lebih cepat
yaitu usia 7 minggu. Untuk ayam broiler sudah bisa dipanen pada usia 40 hari
atau 60 hari. Cepat atau lambatnya masa panen tergantung juga pada proses
perawatan dan pemberian pakan yang teratur. Jumlah ayam yang akan diternakkan
tergantung pada ukuran kandang yang akan dibuat, dimana ukuran kandangnya dapat
menyesuaikan dengan ketersediaan lahan pekarangan.
Untuk
efisiensi lahan, kandang ayam dapat dibangun di atas kolam ikan berbentuk bujur
sangkar dan disusun sampai beberapa tingkat, dengan ketinggian lantai kandang
yang paling bawah adalah 120 cm
dari permukaan air. Tujuannya untuk sirkulasi udara dan mencegah pelembaban
lantai kandang oleh kolam. Feses/kotoran ayam pada tingkat pertama secara
langsung jatuh ke kolam ikan, sehingga dapat memacu perkembangan plankton yang
menjadi makanan ikan. Sedangkan pada tingkat sebelah atas, kotorannya ditampung
dengan lantai khusus.
Dalam
model integrasi ini, kolam
ikan dipupukdengan feses atau kotoran
ayam sebelum ikan dilepaskan atau selama masa produksi. Kotoran ayam sebagai
pupuk untuk kolam ikan merupakan pupuk yang sangat berharga karena banyak mengandung nitrogen, fosfor,
dan komponen organik. Lebih kurang 80% kotoran ayam yang merupakan bahan
makanan yang belum dicernakan membentuk protein kasar dengan konsentrasi antara
20-30 persen. Jika harga ayam dan telur menurun, kadang-kadang harga jual
kotoran ayam melebihi keuntungan yang diperoleh dari harga jual ayam dan telur. Selain dimanfaatkan
untuk kolam ikan, feses ayam juga bisa menjadi pupuk untuk tanaman sayur dan
pepaya, serta dapat dibuat biogas.
Pakan
ayam yang digunakan berupa pakan organik yang dapat dibuat sendiri menggunakan
alat penggiling sederhana, dengan komposisi: sayuran 15%, tepung ikan 5% dan
bahan-bahan lain (jagung giling, katul halus, nasi aking, tempe, konsentrat dan
air). Jadi, salah satu maksud pemilihan sayuran (kangkung dan sawi) dan ikan
dalam model integrasi ini adalah untuk menghemat biaya pembelian bahan baku
dalam pembuatan pakan ayam. Karena pakan yang digunakan adalah pakan organik,
maka ayam dan telur yang dihasilkan dari model ini juga adalah ayam organik dan
telur organik dengan harga jual yang lebih tinggi dari ayam dan telur yang bukan
organik.
Ikan
yang direkomendasikan dalam model ini yaitu ikan gurami. Ikan gurami termasuk
salah satu ikan air tawar yang dapat beradaptasi dengan lingkungan air yang
keruh, tidak membutuhkan perawatan ekstra, mampu memanfaatkan nutrisi yang ada
dan memiliki nilai ekonomis tinggi dengan harga jual bisa mencapai
Rp.30.000/kg.
Karena
model integrasi ini diterapkan di pekarangan, budidaya ikan gurami yang
dilakukan hanya pada tahap pembesarannya saja dan monokultur. Bibit yang
ditebar minimal berumur 2 bulan, dengan padat tebar maksimum 20 ekor per 1 m2.
Ukuran kolam menyesuaikan dengan lahan yang tersedia, dimana kolam dapat dibuat
secara permanen (kolam semen), tidak permanen (kolam tanah) atau menggunakan
kolam terpal. Pemanenan biasanya dilakukan setelah ikan berumur 1 tahun.
Ikan
gurami tergolong ikan herbivora, sehingga pengintegrasiannya dengan sayuran
dapat menghemat biaya pakan karena gurami bisa diberi pakan hijauan berupa
cacahan daun pepaya, kangkung dan sawi. Daun pepaya bagi ikan gurami mengandung
manfaat ganda yaitu selain sebagai pakan, daun pepaya juga dapat mengatasi
penyakit bercak merah pada ikan gurami karena daun ini mengandung zat
antibakteri seperti tocophenol, alkaloid dan flavonoid.
Selain
dari daun-daunan, ikan gurami juga dapat memperoleh pakan alami di dalam kolam
berupa plankton yang pertumbuhannya dipacu oleh kotoran ayam. Pemberian pakan
hijauan tersebut menyebabkan kualitas daging ikan gurami menjadi lebih baik
karena dagingnya akan lebih padat. Ini tentu akan berpengaruh pada harga
jualnya di pasaran.
Untuk
efisiensi, dalam model ini sebagian ikan gurami hasil panen digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan tepung ikan yang juga dapat ditambahkan dengan
limbah tulang dan kepala ikan gurami (limbah ikan gurami yang dikonsumsi
sendiri). Tepung
ikan dapat diolah sendiri menggunakan peralatan sederhana. Tepung yang sudah
jadi selanjutnya digunakan lagi sebagai bahan baku dalam pembuatan pakan ayam.
Kangkung
dan sawi merupakan dua jenis sayuran yang diintegrasikan dalam model ini.
Keduanya dipilih karena selain familiar di kalangan masyarakat Indonesia,
permintaan pasarnya juga cukup tinggi, dikarenakan kedua jenis sayuran ini
dapat diolah menjadi aneka macam
masakan. Kandungan vitamin dan mineralnya yang tinggi membuat kedua jenis
sayuran ini banyak diminati,
baik untuk konsumsi manusia maupun untuk bahan pakan ternak ayam dan ikan, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas.
Selain
itu, cara tanam yang mudah dan masa panen cepat juga menjadi keunggulan kedua
tanaman sayur ini. Kangkung sudah bisa dipanen dalam waktu 30 hari, sedangkan
sawi 40-50 hari setelah tanam. Media tanamnya bisa menggunakan pot, polybag,
atau ditanam langsung ke tanah dengan terlebih dahulu dibuat bedengan. Jika
memilih cara bedengan, ukuran bedengannya dapat disesuaikan dengan kondisi
lahan pekarangan yang tersedia. Untuk pemupukan, bisa menggunakan pupuk kandang
dari kotoran ayam.
Air
kolam ikan juga dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Kandungan unsur hara
seperti N dan P dalam air kolam sangat bermanfaat dalam menunjang nutrisi bagi
pertumbuhan kedua jenis tanaman sayur ini. Untuk efisiensi lahan, teknik
budidaya alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan cara hidroponik dengan
memanfaatkan air kolam ikan sebagai media tumbuhnya. Pemanfaatan pupuk kotoran
ayam dan air kolam ikan dalam model ini menghasilkan sayuran organik yang harga
jualnya lebih tinggi dan lebih ramah lingkungan.
Selain
sayuran, dalam model ini diintegrasikan juga tanaman buah yaitu pepaya. Pepaya
termasuk jenis tanaman yang banyak ditanam di pekarangan. Rentang zona
agroklimatnya cukup lebar. Sesuai dengan keragaman jenis pepaya yang ada,
tanaman ini dapat tumbuh di pekarangan kawasan pantai, dataran rendah,
perbukitan hingga pegunungan. Tidak memerlukan ruang tumbuh yang ekstensif,
sehingga pepaya dapat
dibudidayakan pada pekarangan sempit sekalipun. Pemeliharaannya mudah serta
dapat dipanen tanpa mengenal musim dengan periode hidup relatif panjang. Dengan kandungan gizi yang
kaya akan vitamin C, vitamin E dan beta-karoten,
maka pepaya sangat perlu dikampanyekan untuk ditanam di pekarangan oleh setiap
rumah tangga (Arifin, 2013).
Dari
tanaman pepaya, dapat dimanfaatkan daun dan buahnya. Daun pepaya selain
dimanfaatkan sebagai sayuran untuk konsumsi manusia dan pengobatan, dapat juga
dijadikan pakan ikan gurami sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Saat
berumur ± 4 bulan, daun pepaya sudah dapat diambil. Hal ini sejalan dengan
pertumbuhan gurami yang sudah
berukuran 3-5 cm. Selembar
daun pepaya dapat mencukupi konsumsi 50 ekor gurami.
Sementara
buah pepaya baru bisa dipanen setelah tanaman berumur 7 bulan. Buah pepaya
sendiri banyak mengandung nutrisi antioksidan yang penting untuk kesehatan
manusia. Untuk pemasaran, baik buah maupun daunnya sangat mudah, karena
permintaannya juga banyak. Teknik pembudidayaannya biasanya diawali dengan
pembibitan menggunakan media tanam polybag atau pot. Bibit siap untuk
ditanam di lahan apabila sudah mempunyai 4 (empat)
helai daun sejati. Pemupukan dapat menggunakan kotoran ayam yang telah
difermentasi, dimana pemberiannya dilakukan 2 (dua) minggu
sebelum tanam. Untuk penyiraman tanaman, bisa menggunakan air kolam ikan yang
kaya akan hara.
Pemilihan
pekarangan rumah dalam model integrasi ini lebih didasarkan pada tujuan agar
model pertanian terpadu ini lebih mudah diterima dan diaplikasikan oleh
masyarakat luas. Karena dengan mencontohkan pemanfaatan pekarangan rumah untuk
kegiatan budidaya pertanian, biasanya orang-orang akan lebih tertarik untuk
mencobanya. Ini merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan dalam upaya
membangun ketahanan pangan di Indonesia.
Disamping
itu, dengan semakin sempitnya lahan pertanian akibat banyaknya alih fungsi
lahan untuk pemukiman dan bangunan lainnya, pemanfaatan pekarangan rumah
menjadi langkah bijak dalam rangka membangun kemandirian pangan, selain
tentunya dapat menunjang perekonomian keluarga. Berdasarkan hasil penelitian
Iskandar & Abdoellah (1988), pekarangan rumah (home garden) memiliki
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun-talun dan sawah (rice
field), dimana dengan hanya membutuhkan input sebesar Rp.5/m2/tahun,
pekarangan rumah dapat menghasilkan output paling tinggi yaitu sebesar Rp.101/m2/tahun.
Sementara kebun-talun dan sawah yang membutuhkan input lebih tinggi dari
pekarangan, hanya menghasilkan output masing-masing sebesar sebesar Rp.71/m2/tahun
dan Rp.48/m2/tahun.
C. Strategi Pengembangan Model
Sebelum
strategi pengembangan model integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya dirumuskan,
terlebih dahulu dilakukan analisis SWOT. Analisis didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities),
namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan
ancaman (threats).
Hasil
analisis SWOT terhadap model integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya
ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Analisis SWOT Model Integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya
KEKUATAN |
KELEMAHAN |
PELUANG |
ANCAMAN |
· Penerapannya mudah karena sasarannya
adalah agroekosistem pekarangan · Model dikembangkan dari kegiatan budidaya di pekarangan
yang telah dilakukan oleh sebagian
masyarakat · Komoditi yang diintegrasikan mudah
untuk dibudidayakan di lahan sempit dan termasuk yang bernilai ekonomis
penting · Model integrasi ini dapat mengurangi
biaya input untuk pupuk dan pakan,
serta lebih ramah lingkungan karena menerapkan sistem pertanian organik dan zero waste |
·
Untuk membuat
pakan ayam masih membutuhkan tambahan bahan baku lain ·
Masa panen untuk ikan gurami tergolong lama ·
Harga jual produk pertanian organik lebih mahal dan biasanya memiliki segmen
pasar khusus (daya beli rendah) · Kebijakan pemerintah belum berpihak
pada pengembangan pertanian organik ·
Minimnya penguasaan teknologi pertanian ·
Masih rendahnya
minat masyarakat memanfaatkan pekarangan untuk usaha budidaya pertanian |
· Pemberdayaan pekarangan untuk budidaya
pertanian terpadu menjadi salah satu program pemerintah di beberapa daerah di Indonesia · Dari hasil penelitian, produktivitas
pekarangan lebih tinggi daripada kebun dan sawah · Masih tingginya permintaan pasar terhadap
masing-masing komoditi yang diintegrasikan dalam model ini · Pertanian berkelanjutan menjadi isu global |
·
Sebagian masyarakat tidak lagi memiliki pekarangan
akibat terbatasnya lahan pemukiman yang mereka
miliki · Hama dan Penyakit yang menyerang ayam, tanaman dan ikan masih mengancam kegiatan budidaya pertanian · Harga jual produk pertanian non organik jauh lebih murah dibandingkan dengan produk pertanian organik |
Berdasarkan hasil analisis SWOT pada tabel 1 di atas, maka strategi pengembangan model integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya dapat dirumuskan sebagaimana yang tertera pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel
2. Strategi Pengembangan Model Integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya
Strategi |
Kebijakan |
Program |
Strategi S-O Ø Perluasan penerapan model integrasi |
Ø Pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan untuk usaha budidaya pertanian terpadu |
-
Sosialisasi dan penyuluhan tentang Sistem Pertanian
Terpadu di pekarangan -
Pembentukan kelompok usaha budidaya pertanian terpadu -
Pendampingan usaha |
|
Ø Fasilitasi sarana prasarana produksi dan pemasaran produk |
-
Pemberian bantuan benih dan bibit unggul komoditi dalam model -
Pemberian bantuan pembuatan kandang ayam dan kolam ikan -
Pembentukan dan
pengembangan koperasi |
Strategi S-T Ø Pengintegrasian program dan kebijakan pemerintah |
Ø Peningkatan kerja sama antar
dinas/lembaga pemerintah dan lembaga akademik dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program- program
pembangunan sistem pertanian terpadu |
-
Kerja sama dalam pengaturan pemanfaatan lahan dan pengendalian alih fungsi lahan -
Kerja sama dalam pengaturan mekanisme pasar
dan perluasan pasar bagi produk pertanian organik -
Sinergitas program penanggulangan hama dan penyakit
tanaman, ternak dan ikan |
Strategi W-O Ø Peningkatan kualitas model integrasi |
Ø Mengintroduksikan komoditas penunjang
model integrasi |
-
Introduksi jagung
ke dalam komponen model -
Introduksi ikan mas sebagai tambahan komoditas yang
dibudidayakan dalam kolam ikan
(dari monokultur menjadi polikultur) |
|
Ø Pengembangan teknologi tepat guna |
-
Pengembangan teknologi pembuatan pakan ayam dan tepung ikan -
Pengembangan pupuk cair & biogas -
Pengembangan budidaya sistem hidroponik |
Strategi W-T Ø Pengembangan kapasitas SDM dalam
pengelolaan usaha pertanian organik |
Ø Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
kewirausahaan pertanian organik |
-
Pelatihan wirausaha pertanian organik -
Bimbingan teknis pengelolaan usaha -
Pelatihan manajerial bagi aparatur pendamping |
D.
Penutup
Model
integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayuran-Pepaya dalam suatu agroekosistem pekarangan
dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengembangan sistem pertanian terpadu
di Indonesia dalam upaya menuju kemandirian pangan dan terwujudnya pembangunan
pertanian berkelanjutan. Keunggulan utama model ini adalah tidak membutuhkan
input yang besar, menguntungkan, ramah lingkungan serta memanfaatkan potensi
dan ketersediaan sumberdaya lokal. Strategi pengembangan model di masyarakat
meliputi: (1) Perluasan penerapan model integrasi; (2) Pengintegrasian program
dan kebijakan pemerintah; (3) Peningkatan kualitas model integrasi; dan (4)
Pengembangan kapasitas SDM dalam pengelolaan usaha pertanian organik.
E.
Referensi
1. Arifin,
H.S. 2013. Potensi Buah Pepaya di Pekarangan bagi Pencapaian Pola Pangan
Harapan. Melalui http://pertaniansehat.com/read/2013/04/23/potensi-buah-pepaya-
di-pekarangan-bagi-pencapaian-pola-pangan-harapan.html. [Di akses 22 Maret
2014].
2. Iskandar,
J. & Abdoellah, O.S. 1988. Agroecosystem Analysis: A Case Study in West
Java in Rerkasem, K and Rambo, A.T
(eds), Agroecosystem Research For Rural
Development. Chiang Mai: Multipli Cropping Center.
3. Nurcholis,
M. dan G. Supangkat. 2011. Pengembangan Integrated Farming System untuk
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian dalam
Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian, tanggal 7 Juli 2011.
Bengkulu. Hal. 71-83.
4. Preston,
T.R. 2000. Livestock Production from Local Resources in an Integrated
Farming System; a Sustainable Alternative for the Benefit of Small Scale
Farmers and the Environment. Workshop-seminar "Making better use of local
feed resources" SAREC-UAF, January.
5. Widaya Gurami. 2013. Analisis Bisnis Gurami. Melalui http://widayagurami.blogspot.com/p/analisis-bisnis-gurami.html.
[Diakses
22 Maret 2014].
6. Priyowidodo, T. 2013. Budidaya Kangkung Darat Organik. Melalui http://www.alamtani.com/budidaya-kangkung-darat-organik.html. [Diakses 22 Maret 2014].