Ramadhan atau kita biasa menyebutnya dengan bulan puasa adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya bagi masyarakat muslim Indonesia, termasuk bagi keluarga kami yang bertempat tinggal jauh dari ibukota negara, yaitu di desa kayutanyo, sebuah desa kecil di ujung timur pulau Sulawesi, masih dalam wilayah propinsi Sulawesi Tengah, kabupaten Banggai. Ada banyak momen yang mengesankan jika mengenang suasana ramadhan di kampung halaman pada masa-masa itu.
Lewat tulisan kali ini saya mencoba menuliskan kembali lintasan peristiwa yang masih ada dibenak saya seputar bulan ramadhan di kampung saya.
Beberapa hari sebelum ramadhan, biasanya Ibu dan Bapak saya selalu menghitung-hitung penanggalan Hijriah, kira-kira kapan awal bulan ramadhan dimulai. Tak seperti zaman sekarang, dimana informasi mudah didapat di mana-mana, pada masa itu orang-orang di kampung kami lebih banyak melihat kondisi bulan di langit. Dipenghujung bulan Sya’ban semuanya mulai meneliti malam demi malam perubahan bentuk bulan. Adapula yang memperhatikan kondisi air laut, dalam hal ini kondisi pasang surutnya. Untuk kemudian memperkirakan kapan tepatnya 1 ramadhan.
Di kampung kami, pada masa itu ramadhan benar-benar disambut dengan begitu antusias baik oleh orang tua maupun anak-anak. Setiap keluarga selalu berusaha mempersiapkan diri dalam menyambut bulan suci yang selalu dinanti-nanti. Sampai kemudian, biasanya Imam mesjid di kampung kami membawa kabar dari kantor urusan agama di kota luwuk (berjarak 27 km dari kampung kami) tentang kapan persisnya malam tanggal 1 ramadhan.
Jika di daerah lain ada tradisi ziarah kubur sebelum memasuki bulan puasa, begitu pula di kampung kami. Namun demikian, ada tradisi lain yang sedikit berbeda di kampung kami yang paling dinanti bagi semua orang termasuk saya dan kedua kakak saya yang masih anak-anak, yaitu tradisi “baca doa” yang selalu dilakukan dimalam pertama ramadhan, tepatnya selepas magrib sebelum shalat tarwih.
“Baca doa” disini bukan berarti hanya membaca doa-doa dalam bahasa arab. Tapi, ada hal lain yang tersirat di balik kalimat “baca doa”, yaitu makan enak. Ya, di kampung kami “baca doa” itu identik dengan sajian makanan enak yang lain dari biasanya, lain dari makanan yang sehari-hari di makan di rumah. Itu karena menunya yang bisa dibilang spesial, yang hanya ditemukan di saat-saat tertentu, saat orang melakukan hajatan.
Disaat “baca doa” lah kita bisa menikmati aneka hidangan olahan daging ayam kampung dan olahan beras. Maklumlah karena wilayah kampung kami adalah daerah pesisir, dimana ikan bisa didapatkan dengan mudah dan murah, sehingga daging ayam termasuk jenis makanan mahal pada masa itu. Memotong ayam untuk dijadikan lauk merupakan hal yang jarang dan hanya dilakukan pada saat-saat tertentu disaat ada hajatan, salah satunya adalah saat “baca doa” untuk bulan puasa.
Sejatinya, filosofi “baca doa” menyambut bulan ramadhan di kampung kami adalah sebagai wujud rasa syukur kepada YME yang telah memberi rezeki selama 11 bulan sebelumnya dan telah memberikan umur panjang untuk bisa menemui bulan ramadhan lagi. Oleh karena itu, disore harinya ibu-ibu dibantu anak perempuan disetiap rumah berusaha menyediakan beragam hidangan untuk disantap bersama keluarga. Yang paling mengasyikkan adalah, kita tidak hanya mencicipi masakan “baca doa” di rumah kita saja, tetapi kita bisa mengunjungi tetangga atau kerabat terdekat secara bergantian. Bisa dibayangkan betapa bahagianya anak-anak sesusiaku pada masa itu dapat mencicipi aneka hidangan enak dari beberapa rumah.
Apalagi Bapak saya pada masa itu, termasuk orang yang dituakan diantara keluarga kerabat kami dan pernah menjadi imam kampung. Sehingga disore hari sebelum magrib, bergantian beberapa orang datang ke rumah menyampaikan undangan secara lisan kepada Bapak untuk bisa membacakan doa di rumah mereka nanti.
Begitulah, setelah kekenyangan menikmati hidangan “baca doa”, warga muslim di kampung kami pun berbondong-bondong ke mesjid untuk melaksanakan shalat tarwih malam pertama bulan ramadhan. Tak dipungkiri lagi, mesjid yang tidak begitu luas itu, seakan penuh sesak orang-orang yang ingin beribadah. Di mana-mana, masjid diawal-awal puasa pasti penuh dengan jamaah. Tak ketinggalan kami tentunya yang masih anak-anak. Malam-malam shalat tarwih, adalah saat dimana kami bisa bertemu teman-teman sekolah yang berjauhan rumahnya, selain di sekolah tentunya. Mengasyikkan, karena tentu saja canda tawa senantiasa hadir disela-sela keberadaan kami yang masih anak-anak. Tapi tetap saja tingkah laku kami diawasi oleh Enci’ ustadzah (panggilan untuk guru pelajaran agama islam kami). Sehingga tidak mengherankan jika keesokan harinya di sekolah, terkadang ada diantara kami yang mendapat hukuman karena ketahuan bermain-main saat sholat tarwih di mesjid.
Pada masa-masa itu disekitar tahun 88-89, walau masih duduk dibangku SD kelas 3, saya mulai belajar untuk berpuasa setengah hari. Jadi, selepas sahur berpuasa hanya sampai jam 12 siang. Maklum masih anak-anak jadi belum kuat untuk menahan puasa sampai sehari penuh. Saat itu, liburan sekolah hanya ada diawal dan akhir puasa sampai setelah lebaran. Sehingga, disaat liburan, disamping belajar mengaji di mesjid, saya biasa mengisi puasa sambil bermain bersama kakak dan teman-teman sebaya yang rumahnya berdekatan. Ketika berpuasa, begitu banyak aturan tentang hal-hal yang membatalkan puasa, yang entah dari mana sumbernya. Saya masih ingat, teman dan saudara saya saat itu selalu bilang tidak boleh menangis, tidak boleh berkumur, tidak boleh menelan ludah dan tidak boleh sampai luka dan berdarah, karena puasanya bisa batal. Tak heran jika sebentar-sebentar, saya selalu membuang ludah berusaha mengikuti aturan itu. Ada-ada saja tentunya.
Dimalam-malam pertengahan bulan ramadhan khususnya disaat bulan purnama adalah masa-masa dimana kami mengisinya dengan aneka macam permainan. Saat itu penerangan listrik PLN belum sampai ke kampung kami. Yang ada hanya genset milik desa, itupun masih terbatas pasokan listriknya. Jadi saat bulan purnama, adalah saat paling terang di kampung kami. Ada banyak permainan yang biasa kami lakukan. Satu yang paling saya ingat adalah permainan “sembunyi kain”. Permainan ini hampir sama dengan petak umpet. Bedanya adalah yang bermain tidak perlu jauh-jauh mencari tempat persembunyian, cukup bersembunyi dibalik kain sarung. Jadi, ketentuannya adalah setiap anak yang ingin bermain harus membawa sendiri kain sarung dari rumah.
Ketika permainan dimulai, selain yang kena giliran menutup mata tentunya, semua pemain segera bersembunyi dibalik kain sarung. Untuk mengelabui, biasanya kami selalu bertukar kain sarung agar yang menutup mata kesulitan menebak kami. Begitu juga cara meringkuk dibalik kain sarung, harus diusahakan sebisa mungkin susah ditebak. Setelah dihitung sampai hitungan ke-sepuluh, yang kena giliran menutup mata, mulai berjalan mendekati kami satu per satu. Sebagai dispensasinya, dia bisa menebak-nebak kami dengan mengelus bagian kepala kami, sambil menerka-nerka kira-kira siapa yang berada dibalik kain sarung itu. Sebisa mungkin jangan sampai mengeluarkan suara agar tidak bisa ditebak. Untuk siapa saja yang bisa tertebak, dia yang menggantikan posisi menutup mata dan menebak yang lain. Beruntunglah, pada masa itu kami tidak sedikitpun tertarik bermain petasan yang menurut kami membahayakan. Permainan yang kami mainkan adalah permainan anak-anak kampung yang aman dan membuat suasana kampung jadi meriah.
Dimalam-malam terakhir bulan ramadhan (kira-kira 3-5 malam), ada lagi satu tradisi di kampung kami yang diberi nama malam “tutung”. “Tutung” dari bahasa daerah Saluan (salah satu etnis di kabupaten Banggai) yang berarti menyalakan. Maksudnya adalah menyalakan/memasang lampu. Jika di daerah lain biasanya ada tradisi menyalakan lampion dimalam ramadhan, di kampung kami juga demikian. Akan tapi jenis lampunya berbeda. Kami tidak menggunakan lampion. Pada masa itu, lampu yang digunakan bermacam-macam bentuk dan bahannya. Ada yang menggunakan lampu tempel, adapula yang membuat lampu sendiri dari botol bekas yang diberi sumbu serta adapula yang membuat lampu dari bambu yang dilubangi dan diberi sumbu. Bermacam-macam jenisnya, akan tetapi satu aturan yang diikuti oleh semua orang yaitu jumlah lampu atau mata sumbu haruslah mewakili jumlah anggota keluarga yang ada di rumah itu. Lampu-lampu tersebut diletakkan di depan rumah masing-masing. Sehingga walaupun malam purnama telah lewat, jalan-jalan di kampung kami kembali terang dihiasi lampu-lampu minyak.
Saya sendiri tak mengetahui, apa maksud dari pemasangan lampu-lampu itu. Dari cerita orang-orang tua pada masa itu, lampu-lampu itu dipasang untuk menerangi jalannya malaikat yang akan mengunjungi rumah-rumah orang yang beribadah dimalam-malam lailatul qadar. Entahlah. Yang pasti dimata kami (saya dan kakak saya) yang masih anak-anak, malam “tutung” begitu menyenangkan. Menjelang magrib kami selalu menyiapkan lampu kami masing-masing. Satu lampu mewakili satu anggota keluarga. Kami senantiasa memperhatikan dan mengurus lampu-lampu itu, supaya nyalanya tidak padam tertiup angin.
Bangun untuk makan sahur dan saat berbuka puasa tentunya merupakan hal lain yang paling mengasyikkan dibulan puasa. Untuk berbuka puasa bersama, warga kampung kami bergiliran membawa menu buka puasa ke mesjid. Akan tetapi, berbuka puasa bersama di mesjid kampung kami tidak seramai dengan mesjid-mesjid lain di kota-kota yang pernah saya tinggali. Orang-orang di kampung kami pada masa itu, termasuk kami sekeluarga, lebih memilih untuk berbuka puasa bersama keluarga di rumah masing-masing. Kalaupun ada yang berbuka di mesjid, biasanya yang kebetulan mendapatkan giliran untuk membawa menu berbuka puasa. Tentu saja imam dan beberapa orang pengurus mesjid turut serta berbuka puasa bersama di mesjid itu.
Begitulah suasana ramadhan di kampung kami di era 80-an. Beberapa tahun lalu, saya sempat pulang ke kampung untuk berlebaran bersama ibu dan kakak saya yang sampai saat ini masih tinggal di sana. Suasana malam-malam terakhir ramadhan yang sempat saya temui, sudah tidak seperti dulu lagi. Suasana kampung pun sudah jauh berbeda. Tak ada lagi keramaian anak-anak kecil yang bermain di malam-malam purnama ramadhan. Tak ada lagi keriuhan di mesjid saat malam-malam shalat tarwih. Begitu pula suasana lebaran, terasa tidak sehikmad dulu lagi. Ya mungkin karena pergeseran zaman yang merubah semuanya. Mungkin pula karena saya sudah bukan anak-anak lagi, jadi segala yang ada di sekitar saya sudah tidak semenarik dikala saya melihatnya sebagai seorang anak-anak. Apalagi kini saya telah menetap di kota yang tidak jauh dari ibu kota negara. Tentu saja semuanya tak akan sama dengan suasana di kampung saya. Saya pun mencoba memahaminya dari sudut lain. Bahwa hidup itu terus berkembang, terus berubah seiring pergeseran waktu. Segalanya akan berubah termasuk diri kita, yang tersisa hanyalah kenangan. Kenangan yang akan selalu tersimpan sampai kapan pun.
Sebagai penutup, sekedar informasi bagi yang punya hobi travelling melihat-lihat pemandangan alam serta kebudayaan daerah lain di Indonesia maupun luar negeri, pastikan anda mengunjungi situs ini www.burufly.com sebelum memulai kunjungan wisata anda. Ada banyak informasi menarik di sana terkait dunia travelling. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar