I. PENDAHULUAN
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Lingkungan
hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya
dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Kelangsungan hidup manusia
tergantung dari keutuhan
lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan
manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata‑mata
dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan
yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan
adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah
lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumberdaya alam dan
jasa‑jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan
terhadap lingkungan hidup8.
Persoalan lingkungan hidup adalah persoalan global dan bersifat
universal, sebab berbicara tentang lingkungan hidup, berarti berbicara tentang
persoalan yang dihadapi seluruh umat manusia. Persoalan lingkungan hidup pada
umumnya disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena kejadian alam sebagai
peristiwa yang harus terjadi sebagai proses dinamika alam itu sendiri. Kedua,
karena ulah dan perbuatan tangan manusia sendiri, akibatnya alam murka dan
terjadilah bencana4.
Kedua bentuk kejadian di atas, mengakibatkan ketidakseimbangan pada
ekosistem dan ketidaknyamanan kehidupan makhluk hidup, baik manusia, flora
maupun fauna. Ketidakseimbangan dan ketidaknyamanan tersebut dapat dikatakan
sebagai bencana atau kerusakan lingkungan hidup, yang bentuk-bentuknya dapat
berupa pencemaran air, pencemaran tanah, krisis keanekaragaman hayati (biological diversity), kerusakan hutan,
kekeringan dan krisis air bersih, pertambangan dan kerusakan lingkungan,
pencemaran udara, banjir lumpur dan sebagainya4. Data
BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa 85% lebih bencana yang terjadi di Indonesia
dalam kurun waktu tahun 2002 – 2011 adalah terkait bencana hidrometeorologi
seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan
gelombang pasang. Berdasarkan jumlah kejadian terbanyak adalah
banjir yaitu sebanyak 403 kali. Berbagai kerusakan alam ini disebabkan oleh
banyak faktor, diantaranya perubahan iklim global, degradasi lingkungan,
kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk. Berbagai bencana itu pun telah
menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar6. Dari sekian banyak persoalan kerusakan lingkungan
hidup, ternyata peran manusia sangat besar dalam menciptakan kerusakan tersebut
dan untuk itu, manusia pulalah yang paling banyak menanggung akibatnya4.
Jika dicermati lebih
seksama, hal itu terjadi karena berakar dari cara pandang dan perilaku manusia
terhadap alam lingkungannya. Perilaku manusia yang kurang atau tidak
bertanggung jawab terhadap lingkungannya telah mengakibatkan terjadinya
berbagai macam kerusakan lingkungan seperti yang diutarakan di atas. Sebagai
contoh dari perilaku manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan yaitu
pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah atau sampah industri, rumah
tangga, dan kegiatan lain yang tidak bertanggung jawab, akhirnya mengancam
balik keselamatan dan kehidupan manusia. Contoh lainnya adalah penebangan dan
atau penggundulan hutan serta eksploitasi bahan tambang secara membabi buta,
juga merupakan perbuatan manusia yang rakus dan tidak bertanggung jawab
terhadap lingkungannya3. Ditambah lagi dengan melonjaknya pertambahan penduduk maka keadaan
lingkungan menjadi semakin semrawut.
Berbagai kerusakan lingkungan tersebut mengsiyaratkan
bahwa
kecenderungan kerusakan
lingkungan hidup kini semakin masif dan kompleks. Memburuknya kondisi
lingkungan hidup secara terbuka diakui mempengaruhi dinamika sosial politik dan
sosial ekonomi masyarakat, baik di tingkat komunitas, regional, nasional maupun
global. Individu yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup sulit
dipastikan karena penyebabnya sendiri saling bertautan baik antar-sektor,
antar-aktor, antar-institusi, antar-wilayah dan bahkan antar-negara2.
Tanpa adanya usaha-usaha
perlindungan dan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
tingkah laku manusia itu sendiri, maka tidak mustahil hal ini dapat membawa
kehancuran bagi kehidupan manusia dan alam semesta ini. Oleh
karena itu, perbaikan akhlak masyarakat merupakan sesuatu yang mutlak dan harus
diletakkan pada fase pertama dalam upaya penyelamatan dan perbaikan lingkungan3.
Dalam hal ini Agama
berperan besar untuk mengarahkan dan menjadi pedoman agar manusia lebih
menyadari akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup2.
Sehingga penting bagi kita untuk mengkaji lebih dalam bagaimanakah pandangan
Agama terhadap lingkungan dan permasalahannya; seperti apa pedoman yang
diterangkan dalam Agama (kitab suci) bagi umatnya dalam usaha memanfaatkan apa
yang tersedia di alam ini dan bagaimana kewajiban memeliharanya.
II.
PEMBAHASAN
Apabila dikaji lebih mendalam,
terjadinya berbagai kerusakan lingkungan merupakan akumulasi atau tali temali
dari faktor-faktor struktural, institusional dan kultural secara bervariasi.
Pada tingkat struktural, yang paling menonjol adalah strategi pembangunan dan
industrialisasi yang eksploitatif, tidak mengindahkan keselarasan bahkan
menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan sosial yang menyengsarakan masyarakat
lemah. Pada tingkat institusional, kerusakan lingkungan dikarenakan berbagai
perangkat kelembagaan yang rentan lemah, tidak terkoordinasi dan cenderung
korup. Sedangkan dalam tingkat kultural, terjadinya kerusakan lingkungkan
dikarenakan rendahnya kesadaran dan perilaku ramah lingkungan. Hal ini disebabkan
oleh menjamurnya budaya pragmatis dan hedonis dalam kehidupan masyarakat6.
Di sisi lain, kerusakan
lingkungan seharusnya tidak hanya dipandang dari segi kepentingan manusia
semata, namun difokuskan pada menurunnya kualitas dan daya dukung bagi hewan, tumbuhan,
ataupun mikroba yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia7. Di sinilah letak peran penting agama
sebagai rambu-rambu bagi manusia dalam berperilaku untuk bisa lebih arif dalam
mengelola lingkungan dan memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam
semesta bagi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
II.1
LINGKUNGAN HIDUP DAN
AGAMA
Science bagaimana pun juga memerlukan agama, paling tidak
ketika membicarakan perubahan iklim global di dunia ini, demikian Mary
Evelyn menulis dalam Jurnal Daedalus edisi Musim Semi 2001. Senada dengan Evelyn, McKibben,
seorang ahli lingkungan memperingatkan kita bahwa lebih dari satu dekade yang
lalu, global warming (panas bumi global) adalah
tanda berakhirnya alam. Dan ini akan menjadi isu yang paling menantang di dunia, termasuk agamawan dan
nilai-nilai agama. Karenanya, sebagaimana agama mampu berperan penting dalam
membangun perubahan sosial politik, agama juga ditantang pada abad 21 ini untuk
mempunyai kontribusi dalam pemecahan masalah lingkungan1.
Agama adalah sesuatu yang bukan hanya sekedar kepercayaan
terhadap sesuatu yang transenden (Tuhan) atau kepercayaan akan
adanya kehidupan setelah kematian. Agama juga harus berarti orientasi terhadap
kosmos dan bagaimana peran kita di dunia. Kita mengerti bahwa dalam arti yang
luas agama juga adalah berarti bagaimana manusia mengenal batas-batas realitas
dan bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Agama sering berbicara
tentang kisah-kisah kosmologis, sistem dan simbol, praktek ritual, norma dan
etika, proses sejarah, dan struktur institusi yg mentransmisikan pandangan
bahwa manusia sebagai bagian yang menyatu di dunia mempunyai arti dan tanggung
jawab terhadap alam1.
Agama juga
merupakan salah satu dari cara pandang manusia terhadap alam (diri dan dunia)
serta realitas infra human. Cara pandang tersebut menemukan wujudnya dalam dua
norma kehidupan, yaitu norma etika dan norma ritual. Etika merupakan norma
prilaku individu manusia beragama terhadap sesama manusia dan realitas propan
lainnya. Sedangkan ritual merupakan norma prilaku individu manusia beragama
terhadap realitas sakral. Ritual, selain sebagai sistem etik juga merupakan
suatu proses sakralisasi (inisiasi) terhadap realitas propan. Dengan demikian
realitas propan dipandang sebagai realitas yang memiliki potensi untuk menjadi
realitas sakral. Atau dalam cara pandang lain, bahwa realitas profan pada dasar
terdalamnya (esensi) adalah realitas sakral, karena tidaklah mungkin sesuatu
yang profan bisa diubah menjadi realitas sakral apabila dalam realitas profan
itu tidak memiliki potensi-potensi dasar yang bersifat sakral1.
II.2 LINGKUNGAN MENURUT PANDANGAN LIMA AGAMA
II.2.1 PANDANGAN ISLAM
Pandangan sekuler di Eropa memandang alam sebagai objek yang harus
dieksploitasi demi kepentingan dan kenyamanan manusia. Menurut Syyed Hosen
Nasr, salah seorang pemikir Islam terkemuka dari Iran berkata bahwa pengaruh
paham sekuler yang melenyapkan dimensi spiritual dalam kehidupan Barat, maka
alam pun kemudian dipandang seperti ”seorang pekerja seks komersial (PSK)”.
Yaitu hanya dinikmati sepuasnya tanpa rasa cinta dan tanggung jawab. Akibatnya,
lanjut Nasr, alam mengalami kerusakan dari waktu ke waktu karena keserakahan
manusia yang tidak memiliki cinta, kasih sayang dan tanggung jawab terhadap
kelestariaannya. Ini tentu saja berbeda dengan perspektif agama (Al-Quran) yang
memandang manusia sebagai "wakil" Allah di Bumi (QS Al Baqarah: 30)2.
Selain itu, pandangan keliru terhadap alam sebagai sekadar objek untuk
dieksploitasi manusia tidak sesuai dengan paham ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah)
yang merupakan landasan teologis umat Islam, yaitu bahwa semua makhluk Allah
bertasbih kepada Allah termasuk alam semesta ini. Konsep hidup tersebut telah
diperkenalkan Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya "Islam Rasional"
dalam istilah "berperikemakhlukan" artinya kasih sayang kepada alam,
binatang dan tumbuh-tumbuhan baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati
karena semua itu adalah berasal dari ciptaan Tuhan. Sebaliknya makhluk yang
tidak mempunyai "perikemakhlukan" maka akan mendapatkan kesengsaraan (neraka).
Berkaitan dengan pandangan di atas maka semakin jelaslah bahwa bencana alam
terjadi adalah karena ulah, sikap dan perbuatan manusia sendiri yang merusak
alam. Tindakan seperti itu dalam agama disebut sebagai ”fasad”, yaitu tindakan
yang mengakibatkan kerusakan, disharmoni dan ketidakseimbangan (tidak "berperikemakhlukan")2.
Islam merupakan agama
yang mengatur semua aspek kehidupan manusia di muka bumi, termasuk juga
mengenai bagaimana manusia dalam menjaga lingkungannya. Islam memberikan
pandangan tersendiri terhadap lingkungan atau alam, karena manusia diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi, yang harus menjaga dan melestarikan bumi3.
Islam adalah agama
yang lengkap, serba cakup, termasuk yang berkaitan dengan lingkungan. Islam
juga merupakan agama yang sangat memperhatikan lingkungan (eco-friendly)
dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat Al-Qur’an dan teks Al-Hadist
yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan manusia untuk menjaga
kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain di bumi, walaupun dalam
situasi yang sudah kritis. Ayat yang berkaitan dengan alam dan lingkungan
(fisik dan sosial) ini dalam Al-Qur’an bahkan jauh lebih banyak dibandingkan
dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah khusus (mahdhoh)6.
Islam
adalah sebuah jalan hidup yang merupakan konsekuensi dari pernyataan
atau persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk
mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (nilai normatif) atau ajaran Islam yakni
tauhid, khilafah, amanah, halal dan haram. Berdasarkan atas pengertian
ini maka ajaran (konsep) atau pandangan Islam
tentang lingkungan pun pada dasarnya dibangun atas dasar 5 (lima)
pilar syariah tersebut yakni : 1) tauhid, 2) khilafah, 3) amanah, 4) keseimbangan
(i’tidal) dan 5) istishlah. Untuk menjaga agar manusia bisa berjalan
menuju tujuan penciptaannya maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah
ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2) haram. Kelima pilar dan dua
rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah “bangunan“ untuk menempatkan
paradigma lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam6.
Menurut Islam (Al-Quran) alam bukan hanya benda yang
tidak berarti apa-apa selain dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Alam dalam pandangan Islam (Al-Quran) adalah tanda (ayat) “keberadaan” Allah.
Alam memberikan jalan bagi manusia untuk mengetahui keberadaan-Nya. Allah
berfirman,”Dan di bumi itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,”(QS Adz-Dzariyat
[51]:20)7.
Dalam Al-Quran banyak ditemukan ketika berbicara tentang
alam dilanjutkan dengan anjuran untuk berfikir, memahami, mengingat, bersyukur, dan bertafakkur. Semua
ini akan mengantarkan manusia kepada sesuatu yang Maha Mutlak yang menciptakan
alam dengan keharmonisan hukum-hukum yang mengaturnya. Alam adalah tanda-tanda (ayat) Allah, dalam
artian bahwa alam mengabarkan akan keberadaan Allah sebagai pencipta alam.
Alam adalah manifestasi dari seluruh nama-nama dan
sifat-sifat Allah. Misalnya, tumbuh-tumbuhan merefleksikan sifat-sifat Ilahi
berupa pengetahuan karena tumbuh-tumbuhan “tahu”
bagaimana menemukan makanan dan cahaya, buah-buahan
memanifestasikan anugerah dan karunia Allah, dan hewan mencerminkan empat
sifat Ilahi; kehidupan, pengetahuan, keinginan, dan kekuasaan7.
Karena alam adalah lokus manifestasi dari seluruh
nama-nama dan sifat-sifat Ilahi, maka merusak alam berarti merusak “wajah” atau
tanda (ayat) Tuhan di muka bumi. Manusia, terutama umat Islam, harus
memperlakukan dengan baik karena ia adalah tangga untuk merenungi kemahakuasaan
Allah. Renungan akan keindahan dan keharmonisan alam akan mengantarkan kaum
Muslim menjadi orang-orang bertaqwa. Dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman,
”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,” (QS Al-Jatsiyah [45]:13). Ayat inilah yang menjadi landasan teologis
pembenaran pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Islam tidak melarang memanfaatkan alam, namun ada aturan mainnya.
Manfaatkan alam dengan cara yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab
dalam melindungi alam dan lingkungannya serta larangan merusaknya7.
Manusia sebagai
khalifah (wakil atau pengganti) Allah, salah satu kewajiban atau tugasnya
adalah membuat bumi makmur. Ini menunjukkan bahwa kelestarian dan kerusakan
alam berada di tangan manusia. Dalam Islam (Al-Quran), hak mengelola alam tidak
dapat dipisahkan dari kewajiban untuk memelihara kelestariannya (sinergi
keduanya). Mengelola alam harus diiringi dengan usaha-usaha untuk
melestarikannya. Banyaknya ayat Al-Quran yang membicarakan larangan merusak
bumi, mengindikasikan kewajiban umat Islam untuk memelihara kelestarian dan
keasrian bumi. Setiap perusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan
terhadap diri sendiri. Tuntunan moral Islam dalam mengelola alam adalah
larangan serakah dan menyia-nyiakannya (baca; QS Al-A’raf [7]:31 dan QS Al-Isra
[17]:27), serta banyak penjelasan tentang lingkungan ini melalui hadist-hadist
Nabi Muhammad SAW. Manusia harus mengiringi alam bertasbih memuji Allah, antara lain
memelihara kelestarian alam dan mengarahkannya ke
arah yang lebih baik (islah), dan bukannya melakukan
perusakan di muka bumi (fasad fi al-ardl). Sekali lagi, Islam membolehkan pengelolaan bumi dan pemanfaatannya dengan syarat
kelestarian dan keberlangsungannya, jangan sampai merusak habitat alam7.
A.
Islam Agama Rahmatan Lil Alamin
Islam adalah agama
rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan
kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan
jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Anbiya
ayat 107 yaitu:
لِلْعَالَمِينَ رَحْمَةً إِلا أَرْسَلْنَاكَ وَمَا
Yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”3.
Islam
melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah. Demikian tinggi,
indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan
hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam
dan lingkungan hidupnya3. Lihat saja sabda
Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam Hadis riwayat al-Imam al-Hakim,
“Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih
kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”. Burung
tersebut mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dibunuh dan
dilempar. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan? Dengan hewan saja tidak
boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami
dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia
ini7. Dalam konteks inilah
mungkin, ayat tersebut di atas mendapat maknanya yang lebih spesifik.
Menyitir ayat lain yang menyatakan bahwa Allah telah
“menundukkan” alam semesta untuk manusia, bisa dimaknai bahwa pada sejak awal
manusia turun ke dunia (alam semesta) ini, alam semesta telah berada dalam
keadaan “sakral”. Karena, tentunya kata “menundukkan” tidak bisa dimaknai bahwa
alam sebagai rival yang Tuhan tundukkan. Kata menundukkan dalam hal ini
merupakan makna majazi yang bisa saja diartikan sebagai proses inisiasi, sakralisasi
realitas propan. Oleh karena itu, pikiran dan prilaku yang berorientasi dan
berakibat pada kerusakan alam merupakan pikiran dan prilaku kontra produktif
dengan yang telah Allah lakukan. Konsep bahwa Allah telah menundukkan alam bagi
manusia secara umum lebih dipahami secara konsumtif dan eksploitatif. Yaitu
bahwa Allah menundukkan alam untuk (sehingga) manusia bisa menggunakannya
secara optimal bagi kehidupan dan kesejahteraannya. Kehidupan dan kesejahteraan
dalam makna yang sangat sempit yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Pemberdayaan sumber alam dengan tanpa rasa tanggung jawab1.
Dalam pandangan
Islam, alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan
dalam kesetimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran,
baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Bumi yang merupakan planet dimana
manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya, terdiri atas berbagai unsur dan
elemen dengan keragaman yang sangat besar dalam bentuk, proses dan fungsinya.
Berbagai unsur dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Allah untuk
memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi,
sekaligus merupakan bukti Ke-Mahakuasaan dan Ke-Mahabesaran Sang Pencipta dan
Pemelihara alam3.
Alam
merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik) yang tidak berdiri sendiri,
akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang gaib dan
supra-empirik. Alam mempunyai eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai
dengan hukum-hukum yang berlaku tetap (qadar) bagi alam. Manusia
merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam,
keberadaan manusia di alam adalah saling membutuhkan, saling terkait dengan
makhluk yang lain. Dengan hadirnya Islam, maka alam ini tetap menjadi makmur
sehingga kehidupan manusia akan tetap terjaga3.
B.
Kewajiban Umat Islam Terhadap
Lingkungan
Islam memang menyuruh kita untuk menjaga lingkungan dan juga meminta
untuk terus kita lestrikan keseimbangannya. Sejak penciptaan alam semesta,
Allah swt telah memberlakukan sunatullah bagi
ciptaanNya sehingga senantiasa dalam keteraturan dan keseimbangan atau dikenal
dengan “hukum alam”. Secara alamiah, alam akan memperbaiki dirinya sendiri bila
terjadi ketidakseimbangan/ketidakteraturan akibat adanya kerusakan oleh alam
itu sendiri dan manusia. Islam
menganjurkan kita memelihara alam dan ekosistemnya. Bila ekosistem terpelihara
dan terjaga baik maka akan memenuhi fungsinya dan mencapai dimaksud serta
tujuan penciptaannya oleh Allah bagi kesejahteraan manusia dan makhluk lain
pada masa sekarang dan mendatang. Tindakan manusia yang cenderung melampui
batas dalam pemanfaatan potensi alam dapat mengakibatkan kerusakan dan menuai
bencana5.
Tuntunan Islam tentang keseimbangan alam sangatlah jelas sebagaimana
firman Allah swt: “Allah
menjadikan tujuh langit, kamu sama sekali tidak melihat sesuatu yang tidak
seimbang/serasi di dalam ciptaan Allah Yang Maha Rahman. Lihatlah berulang kali
dengan teliti, adakah kamu temui sesuatu yang tidak seimbang/serasi” (QS. Al-Mulk: 3)5.
Petikan ayat di atas menjelaskan bahwa alam semesta yang diciptakan
Allah dalam keadaan seimbang dan serasi. Kemudian, firman dalam ayat lain: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah (Adam dari golongan manusia) di muka bumi... Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
malaikat...” (QS. Al-Baqarah:
30 dan 31)5.
Dengan dasar itulah manusia diberikan Allah kemampuan menundukkan alam
dan membangun konsep-konsep ilmiah dari yang bersifat abstrak hingga yang
konkret yang menjadi dasar bagi perkembangan Iptek. Tunduknya alam di bawah
kewenangan manusia dengan izin Allah, tidaklah serta merta memposisikan manusia
sebagai penakluk dan alam sebagai yang ditaklukan. Tetapi kewenangan yang
diberikan Sang Khalik adalah kewenangan untuk memanfaatkan maksud dan tujuan
penciptaan alam tersebut5.
Lingkungan
menurut Islam mencakup semua usaha kegiatan manusia dalam sudut ruang dan
waktu. Ruang lingkup lingkungan mencakup bumi, air, hewan dan
tumbuh-tumbuhan serta semua yang ada di atas dan di dalam perut bumi, yang
semuanya diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia untuk menunjang
kelangsungan hidupnya. Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan
alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan
Tuhan untuk manusia. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia
dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptaannya. Dalam rangka tanggung jawab sebagai khalifah Allah
tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara kelestarian alam.
Seperti dalam firman Allah yang berbunyi:
الدُّنْيَا مِنَ نَصِيبَكَ تَنْسَ وَلا الآخِرَةَ الدَّارَ اللَّهُ آتَاكَ فِيمَا وَابْتَغِ
إِنَّ الأرْضِ فِي الْفَسَادَ تَبْغِ وَلا إِلَيْكَ اللَّهُ أَحْسَنَ كَمَا وَأَحْسِنْ
الْمُفْسِدِينَ يُحِبُّ لا اللَّهَ
Yang artinya: “Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dan janganlah kamu melupakan
bahagiamu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
berbuat kerusakan” (Q.S. Al-Qashash: 77)3.
Allah mencipta dan menjadikan alam ini untuk kemaslahatan manusia, untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat baik jumlah maupun jenisnya.
Ini sudah dapat dipastikan membutuhkan sumber daya alam yang tidak sedikit.
Tetapi pemanfatannya haruskan dengan penuh kearifan dan perlu ada usaha
memperbaikinya. Dengan adanya kearifan mengedepankan kelestarian alam, sehingga
sumber daya alam tidak terkuras dan tidak merusak, bahkan justru dapat
melestarikan potensi dan fungsi alam serta memelihara kebutuhan makhluk Tuhan.
Akan tetapi segala kegiatan pembangunan yang dilakukan menurut hawa nafsu,
tentunya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kelestarian dan keseimbangan
alam ini harus menjadi tolok ukur dalam pembangunan dan agama menjadi
pedomannya5.
Bagi umat Islam,
usaha pelestarian lingkungan bukan hanya semata-mata karena tuntutan ekonomis
atau politis atau karena desakan program pembangunan nasional. Usaha
pelestarian lingkungan harus dipahami sebagai perintah agama yang wajib
dilaksanakan oleh manusia bersama-sama. Setiap usaha pengelolaan dan
pelestarian lingkungan hidup secara baik dan benar adalah ibadah kepada Allah
SWT yang dapat memperoleh karunia pahala. Sebaliknya, setiap tindakan yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, pemborosan sumber daya alam, dan
menelantarkan alam ciptaan Allah adalah perbuatan yang dimurkai-Nya3.
Allah swt berfirman: “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan
mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Ar-Ruum: 41). “Apa saja
musibah yang menimpa kamu, disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan itu” (QS. Asy-Syuura: 30)5.
Peringatan Allah dalam petikan ayat di atas cukup lugas dan keras. Allah
akan menurunkan azab (bencana) di bumi bila manusia yang telah diberi amanah
tidak mampu menjalankan amanah sesuai ketentuanNya, atau malah dengan sombong
dan mengikuti hawa nafsu melakukan pengrusakan di muka bumi dengan dalih
melakukan pembangunan5.
Larangan merusak lingkungan alam terefleksi dalam konvensi
keanekaragaman hayati yang ditandatangani oleh 153 negara pada Konferensi Rio
de Janeiro, Brasil, menitikberatkan pada larangan merusak habitat hewan,
tumbuhan dan lingkungan (alam). Sebenarnya Islam telah lebih awal mengajarkan
agar manusia senantiasa berbuat baik pada makhluk lain (tumbuhan, hewan dan
alam) seperti yang dikisahkan Al-Quran tentang Nabi Shalih AS, Daud AS,
Sulaiman AS dan Nabi Muhammad SAW (santun terhadap tumbuhan, hewan dan alam)5.
Manusia mempunyai
kewajiban untuk memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi
manusia saja akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan
manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan dan mengabaikan
asas pemeliharaan dan konservasi sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi
dan kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram)
dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran
pemeliharaan dan konservasi alam dengan baik, maka baginya tersedia balasan
ganjaran dari Allah SWT3.
Manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, berhubungan pula dengan alam sebagai sesama
makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia memerlukan alam
sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Tuhan (yakni: alam adalah
ayat-ayat kauniyah Tuhan). Manusia juga memerlukan alam
(misalnya: pangan, papan, sandang, alat transportasi dan sebagainya) sebagai
sarana untuk beribadah kepada Allah SWT. Hubungan manusia–alam ini adalah
bentuk hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia
adalah penguasa alam). Sementara itu alam berhubungan pula dengan Tuhan yang
menciptakannya dan mengaturnya. Jadi alam pun tunduk terhadap ketentuan atau
hukum-hukum atau qadar yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Memelihara alam.
Agar manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya, manusia harus
mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang alam. Dengan demikian, upaya manusia
untuk bisa memahami alam dengan pengetahuan dan ilmu ini pada hakekatnya
merupakan upaya manusia untuk mengenal dan mamahami yang Menciptakan dan
Memelihara alam, agar bisa berhubungan denganNya3.
C.
Sikap Ramah Lingkungan dalam Pandangan Islam
Melalui
Kitab Suci Al-Qur’an, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia
untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Informasi tersebut memberikan
sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar
tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah
berikan kepada manusia semata-mata merupakan suatu amanah. Islam adalah agama yang mengajarkan
kepada umatnya untuk bersikap ramah lngkungan4. Sikap ramah lingkungan yang diajarkan
oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut:
·
Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam
mengolah lingkungan serta melestarikannya
Di dalam Al-Quran surat Ar Ruum ayat 9
Allah SWT berfirman: “Dan apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat
dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya
lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada
mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah
sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang
berlaku zalim kepada diri sendiri4.”
Pesan yang disampaikan dalam surat Ar
Ruum ayat 9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber
daya alam secara berlebihan yang dikhawatirkan terjadinya kerusakan serta
kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk
generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku
aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya. Mengolah serta
melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal (rumah)
seorang muslim4.
Rasulullah SAW menegaskan dalam
sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani: Dari Abu Hurairah: “Jagalah kebersihan dengan segala usaha yang
mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip
kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih.”
(HR. Thabrani). Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak
boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga
kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara. Demikian
pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan
pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping
juga dapat memelihara peredaran udara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas
dari pencemaran4.
·
Agar manusia tidak berbuat kerusakan
terhadap lingkungan
Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya
kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. Serta surat Al Qashash ayat
77 menjelaskan sebagai berikut: “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Kedua Firman Allah SWT ini
menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi
ini4.
Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang
menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua larangan tersebut
dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang lain, sehingga
terhindar dari musibah yang menimpahnya. Islam memberikan panduan yang cukup
jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia,
sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir,
longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia.
Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung
lingkungan bagi kehidupan manusia4.
·
Agar manusia selalu membiasakan diri
bersikap ramah terhadap lingkungan
Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan
membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang
berbuat kebaikan.” Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa
Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di
Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, tumpukan sampah
dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah
atau di negara lain membuktikan bahwa Allah tidak akan membinasakan
negeri-negeri secara zalim, melainkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang
tidak berbuat kebaikan terhadap lingkungan4.
Sementara itu, pada surat Al-Baqarah
ayat 30 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan
segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaanNya4.”
Al-Quran tidak mengenal istilah penaklukan alam karena secara
tegas Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia adalah
Allah. Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak
mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Allah4.
D. Kontemplasi Bagi Umat Islam
Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan
keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh
karena itu, pelestarian lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh
manusia. Sedangkan secara spiritual fiqhiyah Islamiyah, Allah SWT memiliki
kepedulian ekologis yang paripurna. Paling tidak dua pendekatan ini memberikan
keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang
melimpah yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery)
apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal
ini diingatkan oleh Allah dalam Surat Ar
Ra’d ayat 11: yang
artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri8.”
Umat Islam selalu
berkeyakinan untuk tidak terperosok pada kesalahan yang kedua kalinya. Kejadian
yang sangat dasyat yang kita alami akhir-akhir ini, sebut saja bencana alam
Tsunami misalnya, pencemaran udara, pencemaran air dan tanah, serta sikap rakus
pengusaha dengan menebang habis hutan tropis melalui aktifitas illegal logging,
serta sederet bentuk kerusakan lingkungan hidup lainnya, haruslah menjadi
pelajaran yang sangat berharga. Hal ini ditegaskan oleh dalam firmanNya di
dalam surat Al-Hasyr ayat 2: yang artinya: ”Maka
ambillah (kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Bersikaplah menjadi
pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya, tidak berbuat kerusakan
terhadap lingkungan, dan selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan8.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa kasih
sayang kepada binatang dan tumbuhan dalam rangka memelihara dan melindungi
lingkungan hidup, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam ajaran agama
khususnya Islam. Ajaran ini berasal dari konsep tauhid yang mengandung arti
bahwa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda yang tidak bernyawa
lainnya, semuanya adalah makhluk Tuhan, dan semuanya tunduk kepada-Nya2.
II.2.2
PANDANGAN KRISTEN DAN KATOLIK
Sebagai
mahkota ciptaan, manusia diberi mandat oleh Allah untuk menaklukkan dan
menguasai bumi beserta isinya. Penaklukkan dan penguasaan disini
bukanlah penaklukkan dan penguasan tanpa batas melainkan di dalamnya terdapat
unsur pemeliharaan dan perlindungan terhadap bumi dan segala isinya. Mengapa?
Sebab manusia dijadikan menurut gambar dan rupa Allah adalah untuk memelihara lingkungan hidupnya disamping memanfaatkannya dan bukan merusaknya2.
Iman
Kristen memahami kerusakan lingkungan hidup sebagai bagian dan wujud dari
perilaku manusia yang tidak sejalan dengan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta.
Memelihara bumi dan tidak merusak ekosistem adalah bukti
penguasaan diri manusia. Dunia adalah tempat tinggal bersama yang sesama
penghuninya hidup bergantung. Wujud kuasa manusia atas alam terlihat dalam
batasan mandat untuk memeliharanya. Perilaku ramah lingkungan adalah bagian
iman, salah satu ujian iman yang membumi. Maka, bencana alam yang sedang
mendera kita bukan hanya fenomena alam, tetapi karena kelalaian kita sebagai
pelaksana mandat Allah untuk mengelola bumi ini sebaik mungkin2.
Alkitab memperingatkan bahwa kerusakan alam selama
ini adalah karena ulah dan kejahatan manusia. Mazmur (107:33-34), misalnya,
menyatakan: “Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan
pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang, tanah yang subur menjadi padang
asin, oleh sebab kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya“.
Alkitab sebenarnya tidak pernah menyaksikan bahwa Tuhan memberikan hak kepada
manusia untuk menguasai dan mengusahakan alam dan sumber dayanya secara
eksploitatif dan seenaknya. Sebaliknya, manusia dituntut tanggung jawabnya
untuk memelihara dan mengasihi segala ciptaan-Nya8.
Dalam umat Kristiani (Katholik) dikenal Santo Francis
Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan
menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan
Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat
sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok
burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa:” Saudara-saudaraku
para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan
mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang
membuatmu dapat terbang kemana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan
kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di
udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak
pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungimu dari mara bahaya dan mengatur
hidupmu tanpa kamu merasakannya.1”
Didalam Kejadian 1:1 – 2:3
memperlihatkan bahwa seluruh ciptaan Allah pada hakikatnya adalah baik. Ini
berarti pada setiap ciptaanNya itu terdapat harkat dan martabat yang harus
dihargai oleh ciptaan lainnya karena Allah memberikan dan menyatakannya. Selain
itu, pada segenap ciptaanNya Ia menetapkan struktur keseimbangan dan saling
ketergantungan antara satu ciptaan dengan ciptaan lainnya2.
Pada kejadian 9:8 dan
17 diceritakan bahwa Allah mengikat perjanjian tidak saja kepada Nuh dan
keluarganya (manusia) melainkan juga kepada segenap alam ciptaanNya. Manusia diciptakan sebagai bagian dari seluruh ciptaan
sekaligus sebagai penatalayan ciptaan Allah yang lain (Kejadian 1:26-27; 2:7);
ditugaskan untuk memakai dan memelihara bumi/ciptaan lain (Kejadian 2:15),
tidak semata-mata untuk menguasai dan menaklukkannya. Aspek khusus dari
penciptaan manusia sebagai Gambar Allah dinampakkan dalam tugas memelihara dan
menjaga ciptaan seperti Allah memelihara ciptaan-Nya. Pandangan ini melampaui
lukisan bahwa manusia boleh memperlakukan alam semena-mena, melainkan manusia
harus menghargainya yang mempunyai nilai yang tinggi sebagai ciptaan Allah. Kejadian 1:2 tidak memberitakan bahwa Allah menciptakan dari
ketiadaan melainkan Ia mengubah ”Chaos” (ketidakberaturan) menjadi
sesuatu yang berbentuk baik. Sebagai wakil Allah di Bumi, manusia bertanggung
jawab untuk mengontrol aneka kekuatan chaos. Perspektif lingkungan dalam
Kitab Kejadian sering dibaca berat sebelah dengan menekankan penguasaan manusia
atas alam. Padahal, nuansa kekuatan dalam verba “menaklukkan” dan “menguasai”
lebih berarti agar manusia menyelidiki alam, mempelajari hukum-hukumnya,
mengeksplorasinya. Dalam aras pemikiran ini maka manusia dapat berpartisipasi
dalam penciptaan apabila mengubah yang tidak berbentuk menjadi berbentuk, dari
yang kotor menjadi bersih ,dan dari yang layu menjadi segar dan berbuah2.
Perjanjian Baru sendiri mempunyai pandangan yang
positif terhadap alam. Di dalam Injil dan Surat Rasuli ditegaskan bahwa
kedatangan Yesus Kristus ke dunia untuk menebus/ menyelamatkan seluruh dunia
(Yohanes 3:16), dan bahwa pendamaian yang dilakukan Yesus Kristus di salib
adalah untuk seluruh dunia/ciptaan (II Korintus 5:19; Kolose 1:20). Ini berarti
tindakan penyelamatan Alah tidak saja ditujukan kepada manusia melainkan juga
kepada ciptaan Allah lainnya. Oleh sebab itu, manusia hendaknya mempunyai
relasi yang baik dengan alam ciptaan Tuhan2.
II.2.3 PANDANGAN HINDU
Di dalam Mahabaratha terdapat
keterangan bahwa alam adalah pernberi segala keinginan dan alam adalah sapi
perah yang selalu mengeluarkan susu (kenikmatan) bagi yang menginginkannya. Ungkapan
ini mengandung arti bahwa bumi atau alam yang diibaratkan sebagai sapi perah
harus dipelihara dengan baik sehingga banyak mengeluarkan kebutuhan yang
diperlukan oleh manusia. Kalau sapi perah itu tidak dipelihara, apalagi
dibantai, niscaya ia tidak akan mengeluarkan susu lagi untuk kehidupan manusia.
Dengan kata lain, alam ini apabila dieksploitasi akan membuat manusia sengsara4.
Beberapa contoh ajaran Hindu yang berkaitan dengan lingkungan yaitu1:
Jangan menebang pohon karena mereka
melenyapkan polusi ~ Rig
Veda, 6:48:17.
Penghancuran
hutan dapat dianggap sebagai pengrusakan negara dan penanaman hutan kembali
adalah tindakan untuk membangun kembali dan membuat kemajuan.
~ Charak
Sanhita
Bila hanya ada satu pohon dengan bunga dan
buah di dalam sebuah desa, tempat itu patut Anda hargai ~ Mahabharata.
Bumi adalah Ibu kita dan kita semua adalah
Anak-Anaknya ~ Vedic dictum.
Seseorang yang menanam satu peepal, satu
neem, sepuluh tanaman bunga atau tanaman yang merambat, dua pohon delima, dua
jeruk, dan lima mangga, tidak akan pergi ke neraka ~ Varaha Purana.
Sungai-sungai adalah pembuluh darah Tuhan,
samudra adalah darah-Nya, dan pohon-pohon adalah rambut di tubuh-Nya. Udara adalah
nafas-Nya, bumi adalah daging-Nya, langit adalah perut-Nya, bukit-bukit dan
pegunungan adalah sumsum tulang-Nya, dan waktu yang berlalu adalah gerakan-Nya ~ Srimad Bhagavatam 2.1.32-33.
II.2.4 PANDANGAN BUDDHA
Dalam Karaniyametta
Sutta disebutkan, “…hendaklah
ia berpikir semoga semua makhluk berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang
lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang,
pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun yang
dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia“.
Hal ini mengandung arti bahwa agama Budha menolak terjadinya pencemaran dan
perusakan alam dan segenap potensinya8. Beberapa contoh ajaran Buddha yang berkaitan dengan
lingkungan yaitu1:
Maka, dengan hati tanpa
batas, seseorang seharusnya menghargai semua makhluk hidup, memancarkan
kebaikan ke seluruh dunia, menyebarkannya hingga ke atas langit, dan ke bagian
Bumi yang terdalam, ke luar dan tak terbatas ~ Sutra
Kasih, "Kebaikan Hati".
Jika kita dapat melihat keajaiban dari sekuntum bunga
dengan jelas, seluruh hidup kita akan berubah ~ Buddha Siddhartha, Kitab Tipitaka, 80 S.M.
Rajah Koravya memiliki
sebuah pohon raja banyan yang dinamakan Tabah, dan kerindangan yang diberikan
oleh cabang-cabang yang melebar sangatlah menyejukkan dan menyenangkan. Daunnya
rimbun sampai dua belas gerombol... Tidak ada yang menjaga buahnya, dan tidak
ada yang menyakiti yang lain demi buahnya. Kini datanglah seorang manusia yang
memakan buah untuk mengisi perutnya, mematahkan sebuah cabang, dan pergi. Roh
yang mendiami pohon itu berpikir, “Betapa menakjubkannya, betapa
mengherankannya, di mana seorang manusia dapat menjadi sedemikian jahatnya
hingga mematahkan satu cabang pohon ini, setelah mengenyangkan perutnya.
Menganggap pohon ini tidak berbuah lagi.” Lalu sang pohon itu tidak berbuah
lagi.
~Anguttara Nikaya iii.368
Seperti lebah yang
mengumpulkan madu dengan tidak merusak atau mengusik warna dan aroma sang
bunga; begitu jugalah cara orang yang bijak bergerak melewati dunia.
~ Sang Buddha, Dhammapada: Bunga-Bunga, ayat 49
Hutan adalah makhluk
hidup yang khas dengan kebaikan dan kebajikan tak terbatas yang tak meminta
makanan untuk menghidupinya dan dengan murah hati menawarkan apa yang
dihasilkan oleh hidupnya; ia memberikan perlindungan pada semua makhluk.
~ Sutra Buddhis
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Agama adalah sesuatu yang
bukan hanya sekedar kepercayaan terhadap sesuatu yang transenden (Tuhan) atau kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian.
Agama juga harus berarti orientasi terhadap kosmos dan bagaimana peran manusia di dunia. Dalam arti yang luas, agama juga memiliki makna tentang bagaimana manusia mengenal batas-batas realitas dan bagaimana
manusia berinteraksi dengan lingkungannya.
Kecenderungan kerusakan lingkungan hidup dewasa ini semakin masif dan kompleks, baik di pedesaan maupun perkotaan. Memburuknya kondisi lingkungan hidup secara
terbuka diakui mempengaruhi dinamika sosial politik dan sosial ekonomi
masyarakat, baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional. Dalam hal ini Agama berperan besar untuk
mengarahkan dan menjadi pedoman, agar manusia
lebih menyadari akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Kegiatan
penyelamatan lingkungan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap ajaran
agama. Dalam konteks keislaman, penyelamatan lingkungan merupakan bagian dari
kegiatan penghambaan diri (ibadah) dan pemenuhan tugas sebagai khalifatullah
fil ardl. Setiap umat Islam, harus aktif dalam kegiatan penyelamatan
lingkungan sebagai bagian dari keterpanggilan dakwah dan penegakan nilai-nilai
ajaran Islam. Oleh karena itu, peranan tokoh dan pemuka agama perlu ditingkatkan lagi dalam hal pengelolaan
dan pelestarian lingkungan hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Aziz CA. 2011. Manfaat lingkungan hidup menurut berbagai agama [internet].
[diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://cecepabdulaziz.blogspot.com/2011/07/manfaat-lingkungan-hidup-menurut.html#.Uk0wb9IbCWE.
2.
Dian, Aditya, Yordan, Widiya dan Setya. 2011. Makalah lingkungan hidup.
Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.
3. Gustami R. 2012. Bagaimana pandangan islam
terhadap lingkungan hidup [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://blog.umy.ac.id/reynaldigustami/2012/12/14/bagaimana-pandangan-islam-terhadap-lingkungan-hidup/.
4. Hasibuan AS. 2008.
Lingkungan hidup dalam perspektif agama [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari:
http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=393.
5. Http://aceh.tribunnews.com/2013/01/11/pandangan-islam-tentang-menjaga-lingkungan-hidup.
6. Miftahulhaq. 2012. Agama dan penyelamatan lingkungan [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://muhammadiyahgoesgreen.blogspot.com/2012/04/agama-dan-penyelamatan-lingkungan.html.
7. Setyawan H. 2012. Pandangan islam tentang lingkungan [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://herusetyawan1.blogspot.com/2012/12/makalah-pandangan-islam-tentang.html.
8. Syah B. 2007. Ramah lingkungan dalam pandangan islam [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://bennysyah.edublogs.org/2007/01/06/ramah-lingkungan-dalam-pandangan-islam/.
5. Http://aceh.tribunnews.com/2013/01/11/pandangan-islam-tentang-menjaga-lingkungan-hidup.
6. Miftahulhaq. 2012. Agama dan penyelamatan lingkungan [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://muhammadiyahgoesgreen.blogspot.com/2012/04/agama-dan-penyelamatan-lingkungan.html.
7. Setyawan H. 2012. Pandangan islam tentang lingkungan [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://herusetyawan1.blogspot.com/2012/12/makalah-pandangan-islam-tentang.html.
8. Syah B. 2007. Ramah lingkungan dalam pandangan islam [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://bennysyah.edublogs.org/2007/01/06/ramah-lingkungan-dalam-pandangan-islam/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar