Pendekatan relativisme budaya
memandang bahwa sistem budaya yang dianut masing-masing masyarakat etnis
berlainan antara satu dengan lainnya. Setiap masyarakat etnis memiliki sistem
nilai, norma, adat-istiadat dan hukum adat yang berbeda. Perbedaan ini
menyebabkan penerapan suatu budaya luar belum tentu sesuai dengan budaya lokal
masyarakat. Demikian juga dengan sistem tata nilai budaya yang dianggap baik di
suatu daerah, belum tentu akan dianggap baik pula di daerah lain. Berdasar teori relativisme budaya,
pemahaman mendalam terhadap kultur masyarakat merupakan persyaratan mutlak
sebelum ditarik suatu penilaian budaya. Hal ini berlaku pula bagi identifikasi
gejala sosial budaya, penentuan program pembangunan termasuk didalamnya program
pengelolaan sumberdaya. Jadi, jika
ditanya relevansinya dalam konteks pengelolaan sumberdaya, menurut saya
pendekatan relativisme budaya sangat relevan dalam menangani berbagai persoalan
yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Pemahaman
relativitas budaya suatu masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan
kualitatif dengan cara mendengar, mengamati aktifitas budaya masyarakat, dan
melakukan dialog wawancara dengan pihak masyarakat. Identifikasi gejala sosial secara mendalam berdasar karakteristik budaya
setempat merupakan langkah arif untuk mencapai tujuan dari program pengelolaan
sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya diharapkan tepat sasaran dan sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dengan berdasar pada sistem nilai,
norma, adat isitiadat, dan hukum adat masyarakat. Jangan sampai program pengelolaan
sumberdaya yang dihasilkan merupakan refleksi program pengelolaan sumberdaya
dari budaya masyarakat lain ataupun berdasar dari kultur si perencana program,
sehingga tidak aplikatif di masyarakat yang menjadi sasaran. Hal ini untuk
menghindari terjadinya suatu pola penetapan program pengelolaan yang didasarkan
pada sikap etnosentris pihak perencana pogram. Jika
dari proses identifikasi gejala sosial budaya sudah terpahami, maka dilanjutkan
penentuan program pengelolaan sumberdaya yang sesuai untuk diterapkan di
masyarakat.
Salah satu contoh
adalah pendekatan relativitas budaya dalam penyusunan program pengelolaan
sumberdaya hutan khususnya bagi masyarakat desa
hutan yang tinggal di dalam dan sekitar belantara hutan. Kita ketahui
bahwa kehutanan Indonesia sedang mengalami chaos.
Ada empat persoalan akut yang sedang dihadapi oleh hutan dan kehutanan
Indonesia, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih
kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang kewenangan pengelolaan
sumber daya hutan, (3) marginalisasi masyarakat desa hutan, dan (4) kerusakan
ekologi sumber daya hutan. Keempat persoalan tersebut disebabkan oleh
kekurangpahaman dari para pengelola sektor kehutanan terhadap sistem tata
nilai, norma, dan sitem sosial budaya yang berlaku di masyarakat setempat
secara mendalam dan komprehensif. Pengetahuan tentang karakteristik budaya masyarakat akan menentukan
pola pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, sebab budaya suatu
masyarakat berakar pada karakteristik lingkungan yang ada di sekitarnya. Untuk
memahami karakteristik suatu budaya masyarakat, maka diperlukan upaya
pembelajaran sistem budaya masyarakat yang meliputi aspek gagasan, perilaku,
dan hasil karya dari budaya suatu masyarakat. Dalam antropologi kehutanan terdapat spesifikasi strategi pendekatan mikro,
komparatif, dan holistik yang diperkuat dengan analisa teori fungsionalisme struktural, perubahan sosial, relativisme
budaya dan ekologi budaya, yang juga disesuaikan dengan spesialisasi
persoalan kehutanan untuk menghasilkan suatu analisa yang tajam terkait
deskripsi pola pemanfaatan sumber daya hutan suatu komunitas atau masyarakat. Keempat
teori antropologi tersebut dianggap paling relevan untuk memahami persoalan
kehutanan dan gejala budaya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman
teori relativitas budaya sangat penting bagi para ahli kehutanan sosial untuk
menyusun program pengelolaan sumberdaya hutan dalam masyarakat desa hutan.
Seorang ahli
kehutanan sosial sebaiknya belajar (learning)
sistem tata nilai, norma, adat isitiadat, dan hukum adat masyarakat yang
dijadikan sasaran program agar memahami (understanding)
karakteristik budaya masyarakat, sehingga mampu memaknai (meaning) dan
menentukan program pengelolaan hutan yang layak diterapkan untuk kebaikan hidup
masyarakat desa hutan. Jikalau, konsep relativitas budaya ini dapat dipahami
dan dimaknai secara benar oleh ahli kehutanan sosial tentunya program pengelolaan
sumberdaya hutan yang dicetuskan akan mampu mewujudkan suatu integrasi kultural
dengan sistem tata nilai, norma, adat istiadat, dan hukum adat masyarakat desa
hutan. Akulturasi program pengelolaan hutan yang bersendi pada budaya
masyarakat akan mendorong terciptanya keberhasilan program dan integrasi
program yang harmonis. Relativitas program pengelolaan hutan yang didasarkan
oleh karakteristik budaya masyarakat akan lebih tepat sasaran dengan tataran
hasil yang memuaskan. Masyarakat desa hutan merasa diakui dan diberi kesempatan
partisipasinya, sehingga timbul rasa tanggung jawab untuk menjaga dan menyukseskan
kegiatan pengelolaan hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar