Muraah bangeet….!
Ya…, begitulah bunyi salah satu tulisan dalam poster yang terpampang di etalase barang-barang sembako yang saya temukan di sebuah swalayan di daerah Tangerang. Foto itu saya ambil pada tanggal 26/07/2013, disaat saya sedang menemani keluarga berbelanja sembako untuk keperluan sehari-hari di rumah. Tentu saja kami sedikit kaget dan bertanya-tanya ketika membaca poster itu. Benarkah demikian? Bukankah kita semua sama-sama tahu bahwa saat ini harga barang khususnya sembako semakin melonjak naik? Lantas kenapa di swalayan ini berani memasang poster dengan tulisan seperti itu? Jika benar demikian, pertanyaan selanjutnya adalah jenis barang apa saja dan seberapa murahnya harga barang yang diberi label “muraah bangeet” itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya membuat kami tergerak untuk mengecek kebenaran kalimat poster itu. Kami pun segera meneliti dengan seksama harga-harga barang di etalase tersebut, sambil mencoba membandingkannya dengan harga barang di pasar tradisional. Seolah tak ingin terlewatkan, kami menelisik satu per satu label harga pada bahan makanan yang kami butuhkan. Ya, begitulah adanya. Akibat dari kondisi harga barang yang semakin tidak menentu akhir-akhir ini, promo semacam ini pastilah akan segera diserbu oleh masyarakat. Apalagi yang dipromokan adalah bahan makanan, tak pelak lagi semua menginginkan bisa kebagian membelinya dengan harga yang lebih murah.
Saya jadi ingat dengan operasi pasar murah yang beberapa waktu lalu diadakan di Monas, dimana semua barang yang dijual di sana laku habis dibeli masyarakat Jakarta. Seolah belum cukup, pihak swalayan pun berlomba-lomba menarik pelanggan dengan menggelar beragam promo harga sembako. Sepertinya strategi yang ditempuh oleh bagian marketing swalayan dengan memanfaatkan momentum bulan ramadhan ini cukup jitu dan berhasil menarik konsumen untuk berbelanja.
Niat saya memuat foto poster itu dalam tulisan saya kali ini, tidaklah bermaksud untuk mengiklankan kepada pembaca agar beramai-ramai berbelanja di swalayan tersebut. Akan tetapi lebih kepada ingin mengangkat fenomena kenaikan harga sembako yang kerap terjadi setiap datangnya bulan ramadhan dari tahun ke tahun. Fenomena ini bukan baru terjadi di tahun ini saja. Sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak era tahun 80-an, yang saya ingat saat saya masih duduk di bangku SD, kondisi naiknya harga bahan pokok menjelang dan selama ramadhan juga dikeluhkan oleh ibu saya pada masa itu. Ya, sepertinya kenaikan harga sembako dan bulan ramadhan bisa diibaratkan dengan surat dan prangkonya. Dua hal yang selalu seiring sejalan, lengket dan tidak akan terpisahkan.
Ramadhan. Bulan yang sedianya jadi momentum bagi umat muslim untuk lebih menahan diri dalam segala hal yang salah satunya berkaitan dengan urusan perut, kini telah bergeser maknanya. Bulan puasa yang seharusnya menjadi tempat dimana kita melatih diri merasakan kehidupan orang yang lebih susah dari kita, yang terjadi malah sebaliknya. Hidup kita menjadi boros. Kebanyakan dari kita mengeluhkan bahwa di bulan puasa pengeluaran membengkak. Pos pengeluaran untuk kebutuhan makanan dan minuman menjadi beberapa kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Padahal tidak seperti hari biasa dibulan lainnya, di bulan puasa kita tidak makan dan minum selama kurang lebih 12 jam, seharusnya pula pengeluaran untuk makanan dan minuman menjadi berkurang. Kondisi yang terjadi adalah kita hanya memindahkan jam makan kita dari siang ke malam hari, sementara gaya hidup konsumtif kita malahan semakin menjadi-jadi selama bulan ramadhan ini. Nah, kondisi inilah menurut saya yang semakin memicu kenaikan harga sembako di pasaran. Kenapa demikian?
Menurut saya alasannya sederhana saja. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran dalam teori ekonomi, jika permintaan terhadap suatu barang naik, maka harga barang pun ikut naik. Momentum itu pun terkadang dimanfaatkan oleh sebagian spekulan yang menimbun stok beberapa komoditi, sehingga kelangkaan komoditi tertentu kemudian menjadi pemicu melonjaknya harga di pasaran. Seperti itu pula yang terjadi terhadap harga sembako dibulan ramadhan. Pihak pengusaha maupun pedagang, sepertinya sudah sangat faham dengan gaya konsumtif masyarakat kita. Dimana pola konsumtif itu akan semakin meningkat pada momen-momen tertentu seperti saat ramadhan dan lebaran. Apalagi di tahun ini, kenaikan harga sembako sudah terjadi beberapa minggu sebelum ramadhan yang dipicu oleh kenaikan harga BBM di akhir Juni lalu. Pedagang tentu saja tak menyia-nyiakan hal tersebut untuk meningkatkan margin penjualannya.
Tak pelak lagi, beberapa minggu sebelum ramadhan, biasanya topik yang hangat dibicarakan oleh masyarakat dan ramai menjadi pemberitaan di media adalah kenaikan harga bahan pokok di pasaran. Sebagaimana yang dilansir oleh media online Teraspos.com bahwa “Bulan puasa tidak hanya menjadi berkah bagi umat muslim, tetapi juga mereka yang berkecimpung dengan bisnis sembilan bahan pokok, karena masa itu menjadi momentum bagi mereka untuk mendapatkan margin penjualan lebih besar dari biasanya. Seolah semakin sulit merobohkan pakem kenaikan harga yang relatif baku selama ini bahwa setiap awal Ramadhan dan menjelang Lebaran harga sembako selalu naik”.
Hanya saja, setelah saya membaca tulisan dalam artikel tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa kenaikan harga sembako pada saat ramadhan tahun lalu tidak separah dengan tahun ini. Bahkan di situ ditulis bahwa beberapa harga komoditi mengalami penurunan selama ramadhan tahun lalu karena terjaminnya ketersediaan stok. Kondisinya jauh berbeda dengan ramadhan tahun ini. Saat ini harga beberapa komoditi seperti daging sapi, telur ayam, bawang merah dan cabe rawit merah di pasaran masih tetap tinggi baik di awal maupun hingga pertengahan bulan ramadhan. Contohnya saja daging sapi. Jika ramadhan tahun lalu harga per kg nya masih berada dikisaran Rp. 65.000, ramadhan tahun ini harganya melonjak 2 kali lipat hingga menembus angka di atas Rp. 100.000 per kg. Fantastis memang. Tapi itulah kenyataannya. Hal ini kemudian memicu sebagian dari ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan berdemo menuntut turunnya harga sembako pada tanggal 21 Juli lalu di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.– See more at: http://nasional.teraspos.com/read/2013/07/21/55524/ibu-ibu-unjuk-rasa-kenaikan-harga-sembako#sthash.M7bt8tXK.dpuf
Jika diperhatikan lebih seksama, kenaikan harga sembako yang cukup fantastis pada ramadhan tahun ini disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti yang sudah saya uraikan di atas: (1) kenaikan ini telah dimulai sejak terjadinya kenaikan harga BBM akhir Juni lalu; kemudian (2) adanya kelangkaan stok beberapa komoditi di pasaran; hingga (3) naiknya permintaan terhadap komoditi itu selama bulan ramadhan bahkan sampai menjelang lebaran nanti.
Lantas, sebagai masyarakat awam apa yang bisa kita lakukan menghadapi kondisi pasar yang seperti ini. Akankah kita hanya terus berpasrah diri menerima kenaikan harga tersebut sebagai konsekuensi dari hukum permintaan ekonomi? Akankah kita terus membiarkan para pengusaha/spekulan/pedagang memanfaatkan hasrat konsumtif kita demi keuntungan besar yang mereka peroleh?
Saya kira hal ini tidak bisa terus menerus dibiarkan. Kita sebagai masyarakat awam sudah cukup terbuai oleh janji pemerintah untuk mengontrol pasar. Sudah cukup banyak juga alternatif solusi yang disampaikan oleh para pakar-pakar ekonomi dalam usaha menghindari kenaikan harga sembako selama ramadhan. Namun itu semua tak cukup menyebabkan harga sembako di pasaran turun atau minimal normal selama bulan ramadhan. Yang ada dari tahun ke tahun harga sembako semakin melonjak. Kita pun tak punya daya upaya. Jangankan kita yang awam, pemerintah selaku pengambil kebijakanpun, seolah tak dapat berbuat banyak menghadapi kondisi tersebut. Haruskah kita terus-terusan hanya menanti operasi pasar yang digelar pemerintah agar bisa memperoleh sembako murah setiap ramadhan datang?
Saya sendiri yang bukan pakar dan juga bukan pengambil kebijakan hanya bisa mengajak kepada saudara muslim Indonesia untuk melakukan langkah sederhana. Mari kita kembalikan esensi ramadhan kepada hakekat ramadhan yang seharusnya. Ramadhan adalah bulan puasa. Bulan latihan bagi kita untuk turut merasakan bagaimana penderitaan saudara kita yang hidupnya berkekurangan. Saudara-saudara kita yang jangankan untuk membeli lauk yang enak, untuk dapat makan sesuap nasi saja begitu susah walaupun sudah membanting tulang mencari rezeki. Ramadhan seperti itulah yang seyogyanya diajarkan Nabi kita Muhammad SAW kepada kita untuk kita ikuti. Bukan dengan bermewah-mewahan dalam makanan ketika berbuka puasa dan saat makan sahur. Sebelas bulan yang lain sudah lebih dari cukup bagi kita bermewah-mewah, gunakanlah satu bulan dengan kesahajaan. Bisa dibayangkan, kita saja yang Alhamdulillah berkecukupan, tetap merasa terbebani dengan kenaikan harga sembako selama ramadhan, lantas bagaimana dengan saudara-saudara kita yang benar-benar hidup dalam himpitan ekonomi? Mungkin siang malam mereka bisa terus berpuasa.
Langkah kecil yang bisa kita lakukan adalah dengan mengurangi kebiasaan konsumtif dan merubah pola konsumtif kita selama ramadhan. Jika hal ini dilakukan secara rutin oleh ratusan juta penduduk muslim Indonesia, bukan tidak mungkin suatu saat “surat tak membutuhkan prangko lagi”, dalam arti tak akan ada lagi cerita harga sembako naik selama ramadhan. Wallahu alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar