Minggu, 13 Agustus 2023

BUDIDAYA PERTANIAN TERPADU RAMAH LINGKUNGAN PADA AGROEKOSISTEM PEKARANGAN RUMAH

 

A.   Pendahuluan

RajaBackLink.com

Masyarakat di negara berkembang dewasa ini telah meninggalkan sumberdaya lokal yang mereka miliki, bahkan berusaha melupakan teknologi tradisional yang lebih mandiri dan ramah lingkungan. Kearifan lokal dan teknologi tradisional yang telah berkembang di masyarakat secara perlahan tergusur oleh kemajuan iptek, sistem dan modal yang berasal dari impor.

Iptek dan inovasi impor di satu sisi memang mampu meningkatkan produksi (produk massal), tetapi di sisi lain membuat petani tradisional menjadi lebih miskin. Hal ini karena inovasi impor dan efisiensi menuntut ketersediaan modal (padat modal) dan peningkatan skala usaha, yang ternyata sulit dicapai  oleh peternak kecil atau petani tradisional yang umumnya miskin.

Demikian pula di Indonesia, perkembangan industri peternakannya sangat bergantung pada impor, baik itu bibit dan bakalan (ayam 100%, feeder cattle 400.000 ekor/tahun), pakan (kedelai, jagung, tepung ikan, MBM), maupun teknologi pengolahan dan pemasarannya (susu). Hal ini berdampak pada: (1) langsung maupun tidak langsung, perkembangan usaha peternakan rakyat secara perlahan tapi pasti terhambat atau tergusur peranannya; (2) usaha peternakan semakin tidak mandiri dan rentan terhadap perubahan global; serta (3) margin per satuan unit usaha ternak semakin kecil. Itulah sebabnya dikatakan bahwa sistem produksi seperti ini tidak sustainable/tidak berkelanjutan.

Kondisi tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa pembangunan peternakan di Indonesia belum sepenuhnya didasarkan pada potensi dan ketersediaan sumberdaya lokal (sumberdaya genetik, pakan dan teknologi), tetapi justru mengikuti irama atau keunggulan kompetitif yang dikembangkan negara maju. Hal inilah yang menyebabkan tingkat ketergantungan peternak pada teknologi dan bahan-bahan input dari luar negeri (eksternal input) terus meningkat. Tentu saja ini akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi dan memperkecil keuntungan yang diperoleh peternak.

Oleh karena itu, pembangunan peternakan Indonesia sudah seharusnya tidak hanya terfokus pada upaya untuk mendorong konsumsi protein hewani, meningkatkan produksi, maupun mewujudkan swasembada. Namun, pembangunan peternakan juga harus menekankan upaya mewujudkan kemandirian, ketahanan pangan hewani, kesejahteraan peternak dan keberlanjutan usaha.

Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mensinergikan keunggulan komparatif dengan inovasi lokal yaitu mengembangkan model peternakan yang sesuai dengan kondisi agroekologi dan sosial budaya masyarakat. Tujuannya yaitu untuk menekan seminimal mungkin input dari luar, sehingga dampak negatif sebagaimana yang disebutkan di atas semaksimal mungkin dapat dihindari, dan usaha peternakannya dapat berkelanjutan.

Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan dalam rangka mewujudkan pertanian berkelanjutan yaitu melalui Pengembangan Integrated Farming System (IFS) atau Sistem Pertanian Terpadu (SPT). Sistem pertanian terpadu merupakan sistem pengelolaan (usaha) yang memadukan komponen pertanian, seperti tanaman, hewan dan ikan dalam suatu kesatuan yang utuh. Definisi lain menyatakan bahwa SPT adalah suatu sistem pengelolaan tanaman, hewan ternak dan ikan dengan lingkungannya untuk menghasilkan suatu produk yang optimal dan sifatnya cenderung tertutup terhadap masukan luar (Preston, 2000).

Sistem pertanian terpadu ini sebenarnya dapat memberikan dampak positif yang signifikan dan telah memenuhi kriteria pembangunan pertanian berkelanjutan karena berbasis organik dan dikembangkan/diarahkan berbasis potensi lokal (sumberdaya lokal). Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan sistem ini masih lamban dan belum memenuhi kaidah keterpaduan sistemnya.

Petani pada umumnya menerapkan sistem ini masih bersifat parsial, artinya pengelolaan masing-masing komponen sistem masih terpisah atau sendiri-sendiri, misalnya ternak saja atau tanaman saja atau ikan saja. Padahal dalam pengelolaan sistem pertanian terpadu ini mencakup beberapa subsistem pengelolaan, antara lain pengelolaan tanaman terpadu (Integrated Crop Management/ICM), pengelolaan nutrien terpadu (Integrated Nutrient Management/INM), dan pengelolaan ternak terpadu (Integrated Livestock Management/ILM).

Nurcholis dan Supangkat (2011) menyatakan bahwa beberapa hal yang masih menjadi kendala dalam pengembangan SPT sehingga belum dapat berkembang secara optimal dan meluas di masyarakat petani, antara lain: (1) Belum dipahaminya SPT secara benar oleh berbagai pihak (petani maupun fasilitator); (2) Tingkat hasil dan produktivitas SPT belum meyakinkan petani pada umumnya; (3) Model SPT yang dikembangkan belum sesuai dengan kondisi ekosistemnya; (4) Integrasi vertikal dan horisontal belum didasarkan pada potensi lokal; (5) Keberadaan integrator dalam SPT belum diperhatikan; (6) Belum ada kajian secara komprehensif dan integralistik berkaitan dengan SPT; dan (7) Kebijakan pembangunan pertanian belum mendukung secara jelas pengembangan SPT.

Berangkat dari permasalahan di atas, maka berikut ini akan diuraikan salah satu model integrasi pertanian-peternakan-perikanan dalam suatu agroekosistem pekarangan serta bagaimana strategi pengembangan model di masyarakat. Pekarangan dipilih sebagai tempat pengembangan model integrasi ini karena merupakan lahan yang bersifat multifungsi, diantaranya adalah pekarangan dapat digunakan sebagai tempat budidaya tanaman, hewan dan ikan dengan input yang rendah dan dapat dipraktekkan secara berkelanjutan. Model integrasi di pekarangan ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan sistem pertanian terpadu di Indonesia dalam upaya menuju kemandirian dan kedaulatan pangan serta pembangunan pertanian berkelanjutan.

B.   Model Integrasi Ayam-Ikan Gurami-Pepaya-Sayur di Pekarangan

Gambar 1 di bawah ini menunjukkan suatu model integrasi untuk pertanian berkelanjutan dengan memadukan tanaman, hewan ternak dan ikan dalam satu agroekosistem pekarangan. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa komoditi yang dipilih dalam model ini adalah ayam untuk hewan ternaknya, gurami untuk jenis ikannya, serta pepaya, kangkung dan sawi untuk tanamannya.

Beberapa alasan mendasar dalam memilih komoditas tersebut adalah: (1) masing-masing komoditi yang dipilih sudah terbukti berhasil dibudidayakan di lahan sempit dan terbatas seperti di pekarangan rumah; (2) memiliki kandungan nutrisi tinggi untuk pemenuhan gizi masyarakat; (3) termasuk dalam komoditas pertanian bernilai ekonomis penting; (4) pasarnya luas; serta (5) mudah dalam pemeliharaan/budidayanya. Pengintegrasian komoditi-komoditi ini dalam suatu agroekosistem pekarangan akan berdampak signifikan dalam mengurangi biaya yang diperlukan untuk input seperti pupuk dan pakan, meningkatkan pendapatan, serta lebih ramah lingkungan karena menerapkan sistem pertanian organik dan zero waste.

 


Gambar 1. Integrasi Ayam-Ikan-Gurami-Pepaya-Sayur

Ayam dapat dipilih dari dua jenis, yaitu ayam kampung atau ayam broiler. Masa panen ayam kampung petelur ± 6 bulan, sedangkan ayam kampung pedaging lebih cepat yaitu usia 7 minggu. Untuk ayam broiler sudah bisa dipanen pada usia 40 hari atau 60 hari. Cepat atau lambatnya masa panen tergantung juga pada proses perawatan dan pemberian pakan yang teratur. Jumlah ayam yang akan diternakkan tergantung pada ukuran kandang yang akan dibuat, dimana ukuran kandangnya dapat menyesuaikan dengan ketersediaan lahan pekarangan.

Untuk efisiensi lahan, kandang ayam dapat dibangun di atas kolam ikan berbentuk bujur sangkar dan disusun sampai beberapa tingkat, dengan ketinggian lantai kandang yang paling bawah adalah 120 cm dari permukaan air. Tujuannya untuk sirkulasi udara dan mencegah pelembaban lantai kandang oleh kolam. Feses/kotoran ayam pada tingkat pertama secara langsung jatuh ke kolam ikan, sehingga dapat memacu perkembangan plankton yang menjadi makanan ikan. Sedangkan pada tingkat sebelah atas, kotorannya ditampung dengan lantai khusus.

Dalam model integrasi ini, kolam ikan dipupukdengan feses atau kotoran ayam sebelum ikan dilepaskan atau selama masa produksi. Kotoran ayam sebagai pupuk untuk kolam ikan merupakan pupuk yang sangat berharga karena banyak mengandung nitrogen, fosfor, dan komponen organik. Lebih kurang 80% kotoran ayam yang merupakan bahan makanan yang belum dicernakan membentuk protein kasar dengan konsentrasi antara 20-30 persen. Jika harga ayam dan telur menurun, kadang-kadang harga jual kotoran ayam melebihi keuntungan yang diperoleh dari harga jual ayam dan telur. Selain dimanfaatkan untuk kolam ikan, feses ayam juga bisa menjadi pupuk untuk tanaman sayur dan pepaya, serta dapat dibuat biogas.

Pakan ayam yang digunakan berupa pakan organik yang dapat dibuat sendiri menggunakan alat penggiling sederhana, dengan komposisi: sayuran 15%, tepung ikan 5% dan bahan-bahan lain (jagung giling, katul halus, nasi aking, tempe, konsentrat dan air). Jadi, salah satu maksud pemilihan sayuran (kangkung dan sawi) dan ikan dalam model integrasi ini adalah untuk menghemat biaya pembelian bahan baku dalam pembuatan pakan ayam. Karena pakan yang digunakan adalah pakan organik, maka ayam dan telur yang dihasilkan dari model ini juga adalah ayam organik dan telur organik dengan harga jual yang lebih tinggi dari ayam dan telur yang bukan organik.

Ikan yang direkomendasikan dalam model ini yaitu ikan gurami. Ikan gurami termasuk salah satu ikan air tawar yang dapat beradaptasi dengan lingkungan air yang keruh, tidak membutuhkan perawatan ekstra, mampu memanfaatkan nutrisi yang ada dan memiliki nilai ekonomis tinggi dengan harga jual bisa mencapai Rp.30.000/kg.

Karena model integrasi ini diterapkan di pekarangan, budidaya ikan gurami yang dilakukan hanya pada tahap pembesarannya saja dan monokultur. Bibit yang ditebar minimal berumur 2 bulan, dengan padat tebar maksimum 20 ekor per 1 m2. Ukuran kolam menyesuaikan dengan lahan yang tersedia, dimana kolam dapat dibuat secara permanen (kolam semen), tidak permanen (kolam tanah) atau menggunakan kolam terpal. Pemanenan biasanya dilakukan setelah ikan berumur 1 tahun.

Ikan gurami tergolong ikan herbivora, sehingga pengintegrasiannya dengan sayuran dapat menghemat biaya pakan karena gurami bisa diberi pakan hijauan berupa cacahan daun pepaya, kangkung dan sawi. Daun pepaya bagi ikan gurami mengandung manfaat ganda yaitu selain sebagai pakan, daun pepaya juga dapat mengatasi penyakit bercak merah pada ikan gurami karena daun ini mengandung zat antibakteri seperti tocophenol, alkaloid dan flavonoid.

Selain dari daun-daunan, ikan gurami juga dapat memperoleh pakan alami di dalam kolam berupa plankton yang pertumbuhannya dipacu oleh kotoran ayam. Pemberian pakan hijauan tersebut menyebabkan kualitas daging ikan gurami menjadi lebih baik karena dagingnya akan lebih padat. Ini tentu akan berpengaruh pada harga jualnya di pasaran.

Untuk efisiensi, dalam model ini sebagian ikan gurami hasil panen digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan tepung ikan yang juga dapat ditambahkan dengan limbah tulang dan kepala ikan gurami (limbah ikan gurami yang dikonsumsi sendiri). Tepung ikan dapat diolah sendiri menggunakan peralatan sederhana. Tepung yang sudah jadi selanjutnya digunakan lagi sebagai bahan baku dalam pembuatan pakan ayam.

Kangkung dan sawi merupakan dua jenis sayuran yang diintegrasikan dalam model ini. Keduanya dipilih karena selain familiar di kalangan masyarakat Indonesia, permintaan pasarnya juga cukup tinggi, dikarenakan kedua jenis sayuran ini dapat diolah menjadi  aneka macam masakan. Kandungan vitamin dan mineralnya yang tinggi membuat kedua jenis sayuran ini banyak diminati, baik untuk konsumsi manusia maupun untuk bahan pakan ternak ayam dan ikan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Selain itu, cara tanam yang mudah dan masa panen cepat juga menjadi keunggulan kedua tanaman sayur ini. Kangkung sudah bisa dipanen dalam waktu 30 hari, sedangkan sawi 40-50 hari setelah tanam. Media tanamnya bisa menggunakan pot, polybag, atau ditanam langsung ke tanah dengan terlebih dahulu dibuat bedengan. Jika memilih cara bedengan, ukuran bedengannya dapat disesuaikan dengan kondisi lahan pekarangan yang tersedia. Untuk pemupukan, bisa menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam.

Air kolam ikan juga dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Kandungan unsur hara seperti N dan P dalam air kolam sangat bermanfaat dalam menunjang nutrisi bagi pertumbuhan kedua jenis tanaman sayur ini. Untuk efisiensi lahan, teknik budidaya alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan cara hidroponik dengan memanfaatkan air kolam ikan sebagai media tumbuhnya. Pemanfaatan pupuk kotoran ayam dan air kolam ikan dalam model ini menghasilkan sayuran organik yang harga jualnya lebih tinggi dan lebih ramah lingkungan.

Selain sayuran, dalam model ini diintegrasikan juga tanaman buah yaitu pepaya. Pepaya termasuk jenis tanaman yang banyak ditanam di pekarangan. Rentang zona agroklimatnya cukup lebar. Sesuai dengan keragaman jenis pepaya yang ada, tanaman ini dapat tumbuh di pekarangan kawasan pantai, dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan. Tidak memerlukan ruang tumbuh yang ekstensif, sehingga pepaya dapat dibudidayakan pada pekarangan sempit sekalipun. Pemeliharaannya mudah serta dapat dipanen tanpa mengenal musim dengan periode hidup relatif panjang. Dengan kandungan gizi yang kaya akan vitamin C, vitamin E dan beta-karoten, maka pepaya sangat perlu dikampanyekan untuk ditanam di pekarangan oleh setiap rumah tangga (Arifin,  2013).

Dari tanaman pepaya, dapat dimanfaatkan daun dan buahnya. Daun pepaya selain dimanfaatkan sebagai sayuran untuk konsumsi manusia dan pengobatan, dapat juga dijadikan pakan ikan gurami sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Saat berumur ± 4 bulan, daun pepaya sudah dapat diambil. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan gurami yang sudah berukuran 3-5 cm. Selembar daun pepaya dapat mencukupi konsumsi 50 ekor gurami.

Sementara buah pepaya baru bisa dipanen setelah tanaman berumur 7 bulan. Buah pepaya sendiri banyak mengandung nutrisi antioksidan yang penting untuk kesehatan manusia. Untuk pemasaran, baik buah maupun daunnya sangat mudah, karena permintaannya juga banyak. Teknik pembudidayaannya biasanya diawali dengan pembibitan menggunakan media tanam polybag atau pot. Bibit siap untuk ditanam di lahan apabila sudah mempunyai 4 (empat) helai daun sejati. Pemupukan dapat menggunakan kotoran ayam yang telah difermentasi, dimana pemberiannya dilakukan 2 (dua) minggu sebelum tanam. Untuk penyiraman tanaman, bisa menggunakan air kolam ikan yang kaya akan hara.

Pemilihan pekarangan rumah dalam model integrasi ini lebih didasarkan pada tujuan agar model pertanian terpadu ini lebih mudah diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat luas. Karena dengan mencontohkan pemanfaatan pekarangan rumah untuk kegiatan budidaya pertanian, biasanya orang-orang akan lebih tertarik untuk mencobanya. Ini merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan dalam upaya membangun ketahanan pangan di Indonesia.

Disamping itu, dengan semakin sempitnya lahan pertanian akibat banyaknya alih fungsi lahan untuk pemukiman dan bangunan lainnya, pemanfaatan pekarangan rumah menjadi langkah bijak dalam rangka membangun kemandirian pangan, selain tentunya dapat menunjang perekonomian keluarga. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar & Abdoellah (1988), pekarangan rumah (home garden) memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun-talun dan sawah (rice field), dimana dengan hanya membutuhkan input sebesar Rp.5/m2/tahun, pekarangan rumah dapat menghasilkan output paling tinggi yaitu sebesar Rp.101/m2/tahun. Sementara kebun-talun dan sawah yang membutuhkan input lebih tinggi dari pekarangan, hanya menghasilkan output masing-masing sebesar sebesar Rp.71/m2/tahun dan Rp.48/m2/tahun.

C.   Strategi Pengembangan Model

Sebelum strategi pengembangan model integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya dirumuskan, terlebih dahulu dilakukan analisis SWOT. Analisis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).

Hasil analisis SWOT terhadap model integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya ditunjukkan pada tabel berikut.


Tabel 1. Analisis SWOT Model Integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya

KEKUATAN

KELEMAHAN

PELUANG

ANCAMAN

·    Penerapannya mudah karena sasarannya adalah agroekosistem pekarangan

·    Model dikembangkan dari kegiatan budidaya di pekarangan yang telah dilakukan oleh sebagian masyarakat

·    Komoditi yang diintegrasikan mudah untuk dibudidayakan di lahan sempit dan termasuk yang bernilai ekonomis penting

·    Model integrasi ini dapat mengurangi biaya input untuk pupuk dan pakan, serta lebih ramah lingkungan karena menerapkan sistem pertanian organik dan zero waste

·    Untuk membuat pakan ayam masih membutuhkan tambahan bahan baku lain

·    Masa panen untuk ikan gurami tergolong lama

·    Harga jual produk pertanian organik lebih mahal dan biasanya memiliki segmen pasar khusus (daya beli rendah)

·    Kebijakan pemerintah belum berpihak pada pengembangan pertanian organik

·    Minimnya penguasaan teknologi pertanian

·    Masih rendahnya minat masyarakat memanfaatkan pekarangan untuk usaha budidaya pertanian

·    Pemberdayaan pekarangan untuk budidaya pertanian terpadu menjadi salah satu program pemerintah di beberapa daerah di Indonesia

·    Dari hasil penelitian, produktivitas pekarangan lebih tinggi daripada kebun dan sawah

·    Masih tingginya permintaan pasar terhadap masing-masing komoditi yang diintegrasikan dalam model ini

·    Pertanian berkelanjutan menjadi isu global

·       Sebagian masyarakat tidak lagi memiliki pekarangan akibat terbatasnya lahan pemukiman yang mereka miliki

·       Hama dan Penyakit yang menyerang ayam, tanaman dan ikan masih mengancam kegiatan budidaya pertanian

·       Harga jual produk pertanian non organik jauh lebih murah dibandingkan dengan produk pertanian organik

Berdasarkan hasil analisis SWOT pada tabel 1 di atas, maka strategi pengembangan model integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya dapat dirumuskan sebagaimana yang tertera pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Strategi Pengembangan Model Integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayur-Pepaya

 

 

Strategi

 

 

Kebijakan

 

Program

Strategi S-O

 

Ø  Perluasan penerapan model integrasi

Ø  Pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan untuk usaha budidaya pertanian terpadu

-          Sosialisasi dan penyuluhan tentang Sistem Pertanian Terpadu di pekarangan

-          Pembentukan kelompok usaha budidaya pertanian terpadu

-          Pendampingan usaha

 

Ø  Fasilitasi sarana prasarana produksi dan pemasaran produk

-          Pemberian bantuan benih dan bibit unggul komoditi dalam model

-          Pemberian bantuan pembuatan kandang ayam dan kolam ikan

-          Pembentukan dan pengembangan koperasi

Strategi S-T

 

Ø  Pengintegrasian program dan kebijakan pemerintah

Ø  Peningkatan kerja sama antar dinas/lembaga pemerintah dan lembaga akademik dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program- program pembangunan sistem pertanian terpadu

-          Kerja sama dalam pengaturan pemanfaatan lahan dan pengendalian alih fungsi lahan

-          Kerja sama dalam pengaturan mekanisme pasar dan perluasan pasar bagi produk pertanian organik

-          Sinergitas program penanggulangan hama dan penyakit tanaman, ternak dan ikan

Strategi W-O

 

Ø  Peningkatan kualitas model integrasi

Ø  Mengintroduksikan komoditas penunjang model integrasi

-          Introduksi jagung ke dalam komponen model

-          Introduksi ikan mas sebagai tambahan komoditas yang dibudidayakan dalam kolam ikan (dari monokultur menjadi polikultur)

 

Ø  Pengembangan teknologi tepat guna

-          Pengembangan teknologi pembuatan pakan ayam dan tepung ikan

-          Pengembangan pupuk cair & biogas

-          Pengembangan budidaya sistem hidroponik

Strategi W-T

 

Ø  Pengembangan kapasitas SDM dalam pengelolaan usaha pertanian organik

Ø  Peningkatan pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan pertanian organik

-          Pelatihan wirausaha pertanian organik

-          Bimbingan teknis pengelolaan usaha

-          Pelatihan manajerial bagi aparatur pendamping

 

D.   Penutup

Model integrasi Ayam-Ikan Gurami-Sayuran-Pepaya dalam suatu agroekosistem pekarangan dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengembangan sistem pertanian terpadu di Indonesia dalam upaya menuju kemandirian pangan dan terwujudnya pembangunan pertanian berkelanjutan. Keunggulan utama model ini adalah tidak membutuhkan input yang besar, menguntungkan, ramah lingkungan serta memanfaatkan potensi dan ketersediaan sumberdaya lokal. Strategi pengembangan model di masyarakat meliputi: (1) Perluasan penerapan model integrasi; (2) Pengintegrasian program dan kebijakan pemerintah; (3) Peningkatan kualitas model integrasi; dan (4) Pengembangan kapasitas SDM dalam pengelolaan usaha pertanian organik.

E.   Referensi

1.   Arifin, H.S. 2013. Potensi Buah Pepaya di Pekarangan bagi Pencapaian Pola Pangan Harapan. Melalui http://pertaniansehat.com/read/2013/04/23/potensi-buah-pepaya- di-pekarangan-bagi-pencapaian-pola-pangan-harapan.html. [Di akses 22 Maret 2014].

 

2.   Iskandar, J. & Abdoellah, O.S. 1988. Agroecosystem Analysis: A Case Study in West Java in Rerkasem, K and Rambo, A.T (eds), Agroecosystem Research For Rural Development. Chiang Mai: Multipli Cropping Center.

 

3.   Nurcholis, M. dan G. Supangkat. 2011. Pengembangan Integrated Farming System untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian, tanggal 7 Juli 2011. Bengkulu. Hal. 71-83.

 

4.   Preston, T.R. 2000. Livestock Production from Local Resources in an Integrated Farming System; a Sustainable Alternative for the Benefit of Small Scale Farmers and the Environment. Workshop-seminar "Making better use of local feed resources" SAREC-UAF, January.

 

5. Widaya Gurami. 2013. Analisis Bisnis Gurami. Melalui http://widayagurami.blogspot.com/p/analisis-bisnis-gurami.html. [Diakses 22 Maret 2014].

 

6. Priyowidodo, T. 2013. Budidaya Kangkung Darat Organik. Melalui http://www.alamtani.com/budidaya-kangkung-darat-organik.html. [Diakses 22 Maret 2014].