Sabtu, 03 Agustus 2013

Ospek, haruskah?

Ospek mahasiswa baru angkatan 99
Salah satu bentuk kegiatan Ospek
Tahun akademik 2013/2014 baru saja dimulai. Saya ucapkan selamat buat adik-adik yang pada tahun akademik ini memasuki sekolah ataupun kampus yang baru. Selamat atas usaha dan perjuangan adik-adik selama beberapa tahun sebelumnya yang mana telah membuahkan hasil, dengan lulusnya kalian dari jenjang sekolah yang lebih rendah dan kini memasuki jenjang yang lebih tinggi. Mungkin diantara kalian yang bersekolah di tingkat SMP dan SMA, saat ini sedang menjalani Masa Orientasi Sekolah (MOS). Khususnya bagi yang muslim, menjalani MOS tahun ini akan terasa sedikit agak berat karena bersamaan dengan bulan ramadhan. Sementara yang akan menjadi mahasiswa baru di tahun ini, sepertinya baru akan menjalani Ospek selepas lebaran nanti. 
MOS ataupun Ospek sejatinya hanyalah sebuah nama untuk sebuah kegiatan pengenalan sekolah ataupun kampus baru. Ospek merupakan satu dari serangkaian prosesi penerimaan peserta didik baru di suatu sekolah/kampus. Sebuah prosesi yang dilegitimasi oleh senior-senior atau kakak kelas sebagai kegiatan "wajib" yang harus dilewati oleh adik angkatan/adik kelas untuk bisa resmi diterima sebagai bagian dari komunitas sekolah/kampus mereka. 
Namun, agaknya bagi sebagian dari kita yang pernah merasakan menjadi siswa/mahasiswa baru, mendengar kata Ospek rasanya seperti momok yang hadir di tengah-tengah kegembiraan kita yang akan memasuki lingkungan sekolah/kampus yang baru. Tidak hanya bagi si calon siswa/mahasiswa baru, hal itu pun sedikit mengganggu fikiran orang tua atau keluarga mereka. Betapa tidak, Ospek yang seharusnya hanya diisi dengan kegiatan pengenalan sekolah atau kampus semata, menjadi bergeser kegiatannya lebih ke arah perpeloncoan senior kepada juniornya. Ospek menjadi semacam ajang pengukuhan eksistensi dari senior-senior di sebuah sekolah/kampus. Eksistensi atas kesuperioran mereka di mata junior-juniornya. Sebagian lagi menjadi semacam ajang balas dendam dari senior kepada junior karena merasa pernah mendapat perlakuan yang sama di tahun sebelumnya.
Ya, sepanjang apa yang saya rasakan dan saya alami sendiri selama menjadi siswa baru di masa SMP dan SMA kemudian menjadi mahasiswa baru di PT, saya tidak menemukan nilai manfaat dari kegiatan Ospek yang semuanya saya ikuti sampai selesai itu. Embel-embel kata Orientasi yang kita sama-sama tahu maknanya adalah pengenalan, yang ada malah menjadi kabur jika kita menyaksikan sendiri apa yang dialami oleh siswa/mahasiswa baru selama menjalani Ospek. Entah sejak kapan sejarah Ospek itu muncul di dunia pendidikan. Saya pun tidak tahu pasti. Barangkali saja sejarah Ospek itu sendiri bersamaan dengan sejarah munculnya sekolah??. Yang pasti, sejak saya memasuki SMP di tahun 92 saya pun sudah merasakan apa yang namanya MOS atau Ospek yang pada masa itu lebih dikenal dengan nama Pelonco. Paman dan kakak-kakak saya yang jauh lebih dulu masuk ke dunia sekolah juga merasakannya. Dan sepertinya, Ospek ini tidak saja terjadi di Indonesia, sekolah-sekolah atau kampus di luar negeri pun menerapkan demikian. Barangkali bentuk kegiatannya saja yang berbeda. Sedikit mungkin dalam tulisan ini, saya akan menceritakan pengalaman Ospek yang pernah saya ikuti di masa-masa bersekolah dan kuliah dulu. Maksud saya adalah agar kita sama-sama melihat secara lebih objektif lagi tentang penting atau tidaknya sebuah kegiatan semacam Ospek itu diadakan atau diwajibkan. 
  • SMP tahun 1992. Kegiatan Ospeknya belum begitu terasa berat. Dimasa ini yang saya alami adalah selama dalam masa orientasi, ke sekolah masih harus mengenakan seragam putih merah. Seragam putih biru, baru boleh dikenakan selesai Ospek. Kegiatannya banyak diisi dengan kerja bakti seperti membersihkan kelas, aula, halaman sekolah, perpustakaan dan toilet. Bermacam-macam alat kebersihan seperti sapu lidi, sapu ijuk, lap, ember dan alat pemotong rumput (parang) harus dibawa sendiri dari rumah. Sebagian alat-alat itu kemudian dijadikan barang inventaris kelas. Pada masa itu sapu lidi kami buat sendiri di rumah masing-masing, karena bahan-bahannya banyak tersedia di daerah tempat tinggal kami. Satu hal bagi saya yang tidak saya sukai adalah disaat kami siswa baru diharuskan mencari biodata kakak kelas dengan cara menanyakan langsung ke orangnya masing-masing lalu dicatat di buku Ospek. Alasannya adalah agar kami lebih mengenal siapa-siapa kakak kelas kami. Saya lupa berapa jumlah biodata yang harus dikumpulkan pada saat itu. Yang pasti, untuk bisa mendapatkan nama dan duduk di kelas berapa kakak kelas yang kami tanyakan, itu tidaklah mudah. Karena tentu saja mereka satu per satu harus memelonco kami terlebih dulu baru kemudian biodatanya diberikan. Ada-ada saja yang harus kami lakukan dihadapan mereka, apakah itu menyanyi, menari, melawak, merayu dll. Tentunya, itu kami lakukan dalam kondisi terintimidasi karena mendapat celaan dan gelak tawa.
  • SMA tahun 1995. Selaras dengan masa orientasi di SMP, selama Ospek berlangsung lebih banyak disi dengan kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah. Yang berbeda adalah setiap dua orang siswa baru diwajibkan membawa satu unit tempat sampah yang tebuat dari kayu/papan tebal dengan ukuran yang sudah ditentukan. Beruntung saya mendapat teman semasa SMP yang juga bersekolah di SMA yang sama. Akhirnya kami berdua patungan mengeluarkan biaya dan memesan tong sampah tersebut dari tukang yang bisa membuatnya. Kegiatan lainnya masih sama seperti Ospek di masa SMP yaitu menanyakan biodata kakak kelas. Seperti yang saya bilang, itu adalah salah satu kegiatan Ospek yang tidak saya sukai karena saya merasa lebih terintimidasi. Pada masa itu, selain Ospek masih ada kegiatan lain yang kami ikuti yaitu penataran P4 yang juga diwajibkan bagi semua siswa baru. Terkadang, disela-sela penataran itulah, sambil mencuri-curi kesempatan, para senior memanfaatkannya dengan memelonco kami adik kelasnya.   
  • Perguruan Tinggi tahun 1999. Inilah Ospek terberat yang pernah saya alami. Rangkaian Ospek yang saya lalui saat itu hingga sekarang masih tetap melekat di benak saya. Dimasa itu, ada 3 rangkaian Ospek yang harus kami ikuti selaku maba di jurusan kami yaitu Pra Ospek, Ospek dan Bina Akrab.
  • Pra Ospek selama sehari. Kegiatan ini sebenarnya dimaksudkan untuk menyerahkan biodata yang telah kami isi sebelumnya, sekaligus mendengarkan pengarahan dari panitia Ospek tentang segala hal yang berkaitan dengan Ospek, baik itu waktu, lokasi dan atribut yang harus kami kenakan. Akan tetapi, kondisi yang saya dan teman-teman alami pada masa itu tidaklah seklise itu. Sejak pra Ospek ini kami sudah mendapatkan perlakuan fisik dari senior yang menurut saya tidak pada tempatnya. Selayaknya dunia kemiliteran, maba pria dipaksa melakukan push up, scott jump, sit up, jalan jongkok dan berguling-guling di tengah lapangan berumput dan teriknya matahari siang. Belum lagi berbagai kontak fisik yang kami alami dengan sebab-sebab yang sangat tidak jelas kenapa kami harus menerima perlakuan itu.
  • Ospek selama 3 hari. Selain baju kaos dan tas Ospek yang telah disediakan oleh panitia Ospek (tentu saja dengan membayar terlebih dahulu), berbagai atribut lain harus kami siapkan sendiri dari rumah. Tanda pengenal dengan nama tertentu, ukuran photo 6 kali 4 cm yang harus kami pesan sendiri dari tukang photo kilat di pinggir jalan karena memang tidak ada ukuran photo seperti itu. Kami pun harus mengenakan kalung dari tali rafia yang diberi ikan teri mentah satu ekor. Untuk maba pria, rambut dipotong pendek dimana ada ketentuan batas panjang maksimal, saya sedikit lupa mungkin 1-2 cm. Bagian bawah celana panjang yang kami kenakan harus dimasukkan ke dalam kaos kaki, selayaknya para pendekar saolin. Selama 3 hari itu pula, sejak subuh kami harus segera ke kampus menjalani kegiatan Ospek sampai menjelang magrib. Kegiatan fisik seperti push up, sit up, scott jump, jalan jongkok dan berguling di jalanan adalah sarapan pagi kami sebelum menerima materi di dalam kelas (LT). Rasa capek dan kantuk harus ditahan sebisa mungkin jangan sampai terlihat oleh senior yang mengawasi selama pemberian materi berlangsung. Karena jika ketahuan menguap atau mata mulai sayu, siap-siap menerima hukuman di ruang eksekusi. Saya pun sempat mengalami satu kali kena tamparan sandal jepit sebagai hukuman karena mengantuk. Rasa capek di siang hari, belum serta merta usai ketika kami pulang ke rumah karena kami harus mengerjakan tugas dari senior untuk dibawa keesokan harinya. Selama 3 hari itu pula, bagi maba pria bentuk potongan rambut berubah-rubah. Mulai dari cepak di hari pertama, kemudian 80% gundul di hari kedua (harus menyisakan rambut dibagian belakang kepala dalam bentuk smile) dan gundul total di hari ketiga. Di sela-sela pemberian materi, berbagai selingan yang mengintimidasi kami pun tetap dilakukan oleh senior-senior. Mulai dari menjilati permen secara bergilir. Kemudian maba pria bertelanjang dada sambil tangannya menggosok-gosok ketiak teman sendiri lalu dimasukkan ke mulut masing-masing. Lalu berpelukan, berkerumun dan beramai-ramai meludah ke atas. Beberapa teman saya juga menerima kontak fisik dari "super senior" dengan alasan yang tidak jelas pula. Betapa tidak mendidik tentunya, serta tidak mencirikan kita sebagai komunitas orang terpelajar. Tapi, kami selaku maba tak dapat mengelak dan hanya pasrah menjalani semua kegiatan Ospek itu. Karena ada dua pasal yang entah dari mana sumbernya dan mungkin berlaku umum di dunia perpeloncoan Indonesia saat itu yaitu : Pasal 1. Senior tidak pernah bersalah; Pasal 2. Jika senior bersalah, kembali ke pasal 1. 
  • Bina Akrab selama 2 hari. Kegiatan ini dilakukan setelah beberapa bulan kami menjadi mahasiswa. Sifatnya pun wajib diikuti oleh setiap maba di jurusan kami. Jika dilihat dari lokasi kegiatannya yang dilakukan di sebuah pulau, Bina Akrab sebenarnya bertujuan positif agar kami mengenal secara riil tentang bidang ilmu yang sudah kami pilih untuk dipelajari sampai kami sarjana nanti. Akan tetapi, di lapangan berbagai bentuk perlakuan fisik dan intimidasi dari senior juga masih kami alami. Beberapa contoh yang masih saya ingat adalah push up di pantai dimana 3/4 badan terendam di air laut, kemudian kepala yang gundul diberi bintang laut ketika kami menerima materi dari senior di pinggir pantai dll. 
Belakangan saya tahu dari cerita teman-teman se-angkatan saya dari fakultas lain di kampus yang sama, pengalaman Ospek yang saya ceritakan ini bagi mereka masih dianggap ringan dan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang mereka alami. Karena memang, beberapa teman se-angkatan saya itu ada yang menerima perlakuan yang lebih "keras" dari senior-seniornya dibandingkan dengan apa yang kami rasakan, bahkan di masa itu ada yang menjadi korban. Inalillahi.
Hingga ketika kami akhirnya menjalani kuliah di semester pertama dan kedua, Ospek dalam bentuk lain pun masih kami rasakan saat harus menyelesaikan laporan beberapa mata kuliah yang kami ikuti. Tidak ada yang salah dengan membuat laporan, akan tetapi perlakuan asistensi yang berulang-ulang bahkan bisa sampai 6-7 kali untuk satu laporan, saya kira tidak mencirikan suasana akademik yang sehat. Itu hanya tampak sebagai suatu keharusan yang dilebih-lebihkan untuk bisa lulus dari praktikum mata kuliah tersebut. Kami baru benar-benar bisa bernafas lega setelah setahun kemudian saat penerimaan mahasiswa baru kembali dimulai, dimana status kami pun berubah menjadi senior. 
Akhirnya tiga tahun kemudian, tibalah giliran angkatan saya yang menjadi panitia Ospek. Beruntunglah dimasa-masa itu saya tidak sedikitpun tertarik menjadi bagian dari kepantiaan Ospek. Tak ada dendam dalam diri saya atas semua perlakuan senior yang saya alami selama menjadi mahasiswa baru. Saya pun tak akan tega memperlakukan adik-adik angkatan (junior) saya sebagaimana perlakuan senior saya sebelumnya. Saya pun lebih memilih menyibukkan diri dengan urusan akademik dan aktualisasi diri di organisasi lain.
Nah, berdasarkan ulasan pengalaman Ospek saya tersebut, masih perlukah kita mempertahankan tradisi MOS atau Ospek di dunia pendidikan?
Berdasarkan survei kecil dari hasil bincang-bincang saya dengan teman-teman semasa kuliah dulu, sebagian dari mereka ada yang menjawab tidak perlu karena alasan bentuk kegiatan Ospek yang selama ini berjalan terkesan tidak mendidik dan sudah melenceng dari esensi dan tujuan Ospek itu sendiri. Sebagian yang lain  menjawab harus dan wajib dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang beralasan Ospek sebagai bentuk penggemblengan siswa/mahasiswa baru agar lebih "fight" selama menempuh studi di sekolah/kampus tersebut. Sebagian lagi ada yang beralasan kalau tidak ikut Ospek tidak ada kenangan yang bisa diceritakan di masa-masa yang akan datang, terutama di masa tua untuk diceritakan saat reunian atau ke anak cucunya.
Bagi saya, orientasi sah-sah saja asalkan dengan syarat benar-benar orientasi, tanpa ada embel-embel lainnya. Karena sejatinya maksud dari orientasi adalah untuk mengenalkan peserta didik baru tentang lingkungan sekolah/kampus yang telah menjadi pilihan mereka untuk menuntut ilmu selama beberapa tahun di tempat itu. Berikut menuriut saya yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan Opsek yang lebih mendidik:
  • Hilangkan semua bentuk perpeloncoan yang selama ini sudah menjadi tradisi di lingkungan sekolah/kampus baik itu intimidasi, sistem kesenioran, perlakuan fisik maupun kontak fisik. 
  • Buatlah orientasi dalam bentuk yang lebih bernuansa akademik dan mencirikan kaum terpelajar. 
  • Tak perlu pakaian Ospek dan atribut yang aneh-aneh. 
  • Cukuplah mengenakan seragam sekolah atau jas almamater bagi mahasiswa. 
  • Isilah Ospek dengan materi dan kegiatan yang positif serta bermanfaat sebagai bentuk pengenalan lingkungan sekolah/kampus bagi siswa/mahasiswa baru. 
  • Disamping itu semua, tentu saja peran pengawasan dari guru dan dosen sebagai pendidik sangat diharapkan sehingga selama Ospek berlangsung tetap berjalan sesuai koridor.

Tidak ada komentar: