Selasa, 22 Oktober 2013

Pandangan Agama terhadap Lingkungan

RajaBackLink.com https://rajabacklink.com/refferal.php?q=cfc589f72fd5f46aa97a9b69cbad002f3938f734956c1105d8
I. PENDAHULUAN
Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup. Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari  keutuhan lingkungannya, sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata‑mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa‑jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup8.
Persoalan lingkungan hidup adalah persoalan global dan bersifat universal, sebab berbicara tentang lingkungan hidup, berarti berbicara tentang persoalan yang dihadapi seluruh umat manusia. Persoalan lingkungan hidup pada umumnya disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena kejadian alam sebagai peristiwa yang harus terjadi sebagai proses dinamika alam itu sendiri. Kedua, karena ulah dan perbuatan tangan manusia sendiri, akibatnya alam murka dan terjadilah bencana4.
Kedua bentuk kejadian di atas, mengakibatkan ketidakseimbangan pada ekosistem dan ketidaknyamanan kehidupan makhluk hidup, baik manusia, flora maupun fauna. Ketidakseimbangan dan ketidaknyamanan tersebut dapat dikatakan sebagai bencana atau kerusakan lingkungan hidup, yang bentuk-bentuknya dapat berupa pencemaran air, pencemaran tanah, krisis keanekaragaman hayati (biological diversity), kerusakan hutan, kekeringan dan krisis air bersih, pertambangan dan kerusakan lingkungan, pencemaran udara, banjir lumpur dan sebagainya4. Data BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa 85% lebih bencana yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2002 – 2011 adalah terkait bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang.  Berdasarkan jumlah kejadian terbanyak adalah banjir yaitu sebanyak 403 kali. Berbagai kerusakan alam ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya perubahan iklim global, degradasi lingkungan, kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk. Berbagai bencana itu pun telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar6. Dari sekian banyak persoalan kerusakan lingkungan hidup, ternyata peran manusia sangat besar dalam menciptakan kerusakan tersebut dan untuk itu, manusia pulalah yang paling banyak menanggung akibatnya4.
Jika dicermati lebih seksama, hal itu terjadi karena berakar dari cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Perilaku manusia yang kurang atau tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya telah mengakibatkan terjadinya berbagai macam kerusakan lingkungan seperti yang diutarakan di atas. Sebagai contoh dari perilaku manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan yaitu pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah atau sampah industri, rumah tangga, dan kegiatan lain yang tidak bertanggung jawab, akhirnya mengancam balik keselamatan dan kehidupan manusia. Contoh lainnya adalah penebangan dan atau penggundulan hutan serta eksploitasi bahan tambang secara membabi buta, juga merupakan perbuatan manusia yang rakus dan tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya3. Ditambah lagi dengan melonjaknya pertambahan penduduk maka keadaan lingkungan menjadi semakin semrawut.  
Berbagai kerusakan lingkungan tersebut mengsiyaratkan bahwa kecenderungan kerusakan lingkungan hidup kini semakin masif dan kompleks. Memburuknya kondisi lingkungan hidup secara terbuka diakui mempengaruhi dinamika sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat, baik di tingkat komunitas, regional, nasional maupun global. Individu yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup sulit dipastikan karena penyebabnya sendiri saling bertautan baik antar-sektor, antar-aktor, antar-institusi, antar-wilayah dan bahkan antar-negara2. Tanpa adanya usaha-usaha perlindungan dan perbaikan terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tingkah laku manusia itu sendiri, maka tidak mustahil hal ini dapat membawa kehancuran bagi kehidupan manusia dan alam semesta ini. Oleh karena itu, perbaikan akhlak masyarakat merupakan sesuatu yang mutlak dan harus diletakkan pada fase pertama dalam upaya penyelamatan dan perbaikan lingkungan3. Dalam hal ini Agama berperan besar untuk mengarahkan dan menjadi pedoman agar manusia lebih menyadari akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup2. Sehingga penting bagi kita untuk mengkaji lebih dalam bagaimanakah pandangan Agama terhadap lingkungan dan permasalahannya; seperti apa pedoman yang diterangkan dalam Agama (kitab suci) bagi umatnya dalam usaha memanfaatkan apa yang tersedia di alam ini dan bagaimana kewajiban memeliharanya.

II. PEMBAHASAN
Apabila dikaji lebih mendalam, terjadinya berbagai kerusakan lingkungan merupakan akumulasi atau tali temali dari faktor-faktor struktural, institusional dan kultural secara bervariasi. Pada tingkat struktural, yang paling menonjol adalah strategi pembangunan dan industrialisasi yang eksploitatif, tidak mengindahkan keselarasan bahkan menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan sosial yang menyengsarakan masyarakat lemah. Pada tingkat institusional, kerusakan lingkungan dikarenakan berbagai perangkat kelembagaan yang rentan lemah, tidak terkoordinasi dan cenderung korup. Sedangkan dalam tingkat kultural, terjadinya kerusakan lingkungkan dikarenakan rendahnya kesadaran dan perilaku ramah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh menjamurnya budaya pragmatis dan hedonis dalam kehidupan masyarakat6. Di sisi lain, kerusakan lingkungan seharusnya tidak hanya dipandang dari segi kepentingan manusia semata, namun difokuskan pada menurunnya kualitas dan daya dukung bagi hewan, tumbuhan, ataupun mikroba yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia7. Di sinilah letak peran penting agama sebagai rambu-rambu bagi manusia dalam berperilaku untuk bisa lebih arif dalam mengelola lingkungan dan memanfaatkan apa yang telah disediakan oleh alam semesta bagi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.

II.1 LINGKUNGAN HIDUP DAN AGAMA
Science bagaimana pun juga memerlukan agama, paling tidak ketika  membicarakan perubahan iklim global di dunia ini, demikian Mary Evelyn menulis dalam Jurnal Daedalus edisi Musim Semi 2001. Senada dengan Evelyn, McKibben, seorang ahli lingkungan memperingatkan kita bahwa lebih dari satu dekade yang lalu, global warming (panas bumi global) adalah tanda berakhirnya alam. Dan ini akan menjadi isu yang paling menantang di dunia, termasuk agamawan dan nilai-nilai agama. Karenanya, sebagaimana agama mampu berperan penting dalam membangun perubahan sosial politik, agama juga ditantang pada abad 21 ini untuk mempunyai kontribusi dalam pemecahan masalah lingkungan1.
Agama adalah sesuatu yang bukan hanya sekedar kepercayaan terhadap sesuatu yang transenden (Tuhan) atau kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Agama juga harus berarti orientasi terhadap kosmos dan bagaimana peran kita di dunia. Kita mengerti bahwa dalam arti yang luas agama juga adalah berarti bagaimana manusia mengenal batas-batas realitas dan bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Agama sering berbicara tentang kisah-kisah kosmologis, sistem dan simbol, praktek ritual, norma dan etika, proses sejarah, dan struktur institusi yg mentransmisikan pandangan bahwa manusia sebagai bagian yang menyatu di dunia mempunyai arti dan tanggung jawab terhadap alam1.
Agama juga merupakan salah satu dari cara pandang manusia terhadap alam (diri dan dunia) serta realitas infra human. Cara pandang tersebut menemukan wujudnya dalam dua norma kehidupan, yaitu norma etika dan norma ritual. Etika merupakan norma prilaku individu manusia beragama terhadap sesama manusia dan realitas propan lainnya. Sedangkan ritual merupakan norma prilaku individu manusia beragama terhadap realitas sakral. Ritual, selain sebagai sistem etik juga merupakan suatu proses sakralisasi (inisiasi) terhadap realitas propan. Dengan demikian realitas propan dipandang sebagai realitas yang memiliki potensi untuk menjadi realitas sakral. Atau dalam cara pandang lain, bahwa realitas profan pada dasar terdalamnya (esensi) adalah realitas sakral, karena tidaklah mungkin sesuatu yang profan bisa diubah menjadi realitas sakral apabila dalam realitas profan itu tidak memiliki potensi-potensi dasar yang bersifat sakral1.

II.2 LINGKUNGAN MENURUT PANDANGAN LIMA AGAMA
II.2.1 PANDANGAN ISLAM
Pandangan sekuler di Eropa memandang alam sebagai objek yang harus dieksploitasi demi kepentingan dan kenyamanan manusia. Menurut Syyed Hosen Nasr, salah seorang pemikir Islam terkemuka dari Iran berkata bahwa pengaruh paham sekuler yang melenyapkan dimensi spiritual dalam kehidupan Barat, maka alam pun kemudian dipandang seperti ”seorang pekerja seks komersial (PSK)”. Yaitu hanya dinikmati sepuasnya tanpa rasa cinta dan tanggung jawab. Akibatnya, lanjut Nasr, alam mengalami kerusakan dari waktu ke waktu karena keserakahan manusia yang tidak memiliki cinta, kasih sayang dan tanggung jawab terhadap kelestariaannya. Ini tentu saja berbeda dengan perspektif agama (Al-Quran) yang memandang manusia sebagai "wakil" Allah di Bumi (QS Al Baqarah: 30)2.
Selain itu, pandangan keliru terhadap alam sebagai sekadar objek untuk dieksploitasi manusia tidak sesuai dengan paham ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah) yang merupakan landasan teologis umat Islam, yaitu bahwa semua makhluk Allah bertasbih kepada Allah termasuk alam semesta ini. Konsep hidup tersebut telah diperkenalkan Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya "Islam Rasional" dalam istilah "berperikemakhlukan" artinya kasih sayang kepada alam, binatang dan tumbuh-tumbuhan baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati karena semua itu adalah berasal dari ciptaan Tuhan. Sebaliknya makhluk yang tidak mempunyai "perikemakhlukan" maka akan mendapatkan kesengsaraan (neraka). Berkaitan dengan pandangan di atas maka semakin jelaslah bahwa bencana alam terjadi adalah karena ulah, sikap dan perbuatan manusia sendiri yang merusak alam. Tindakan seperti itu dalam agama disebut sebagai ”fasad”, yaitu tindakan yang mengakibatkan kerusakan, disharmoni dan ketidakseimbangan (tidak "berperikemakhlukan")2.
Islam merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia di muka bumi, termasuk juga mengenai bagaimana manusia dalam menjaga lingkungannya. Islam memberikan pandangan tersendiri terhadap lingkungan atau alam, karena manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, yang harus menjaga dan melestarikan bumi3.
Islam adalah agama yang lengkap, serba cakup, termasuk yang berkaitan dengan lingkungan. Islam juga merupakan agama yang sangat memperhatikan lingkungan (eco-friendly) dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat Al-Qur’an dan teks Al-Hadist yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain di bumi, walaupun dalam situasi yang sudah kritis. Ayat yang berkaitan dengan alam dan lingkungan (fisik dan sosial) ini dalam Al-Qur’an bahkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah khusus (mahdhoh)6
Islam adalah  sebuah jalan hidup yang merupakan konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (nilai normatif) atau ajaran Islam yakni tauhid, khilafah, amanah, halal dan haram. Berdasarkan atas pengertian ini maka ajaran (konsep) atau pandangan Islam tentang lingkungan pun pada dasarnya dibangun atas dasar  5 (lima) pilar syariah tersebut yakni : 1) tauhid, 2) khilafah, 3) amanah, 4) keseimbangan (i’tidal) dan 5) istishlah. Untuk menjaga agar manusia bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2) haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah “bangunan“ untuk menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam6.
Menurut Islam (Al-Quran) alam bukan hanya benda yang tidak berarti apa-apa selain dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dalam pandangan Islam (Al-Quran) adalah tanda (ayat) “keberadaan” Allah. Alam memberikan jalan bagi manusia untuk mengetahui keberadaan-Nya. Allah berfirman,”Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,”(QS Adz-Dzariyat [51]:20)7.
Dalam Al-Quran banyak ditemukan ketika berbicara tentang alam dilanjutkan dengan anjuran untuk berfikir, memahami, mengingat, bersyukur, dan bertafakkur. Semua ini akan mengantarkan manusia kepada sesuatu yang Maha Mutlak yang menciptakan alam dengan keharmonisan hukum-hukum yang mengaturnya. Alam adalah tanda-tanda (ayat) Allah, dalam artian bahwa alam mengabarkan akan keberadaan Allah sebagai pencipta alam. Alam adalah manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah. Misalnya, tumbuh-tumbuhan merefleksikan sifat-sifat Ilahi berupa pengetahuan karena tumbuh-tumbuhan “tahu” bagaimana menemukan makanan dan cahaya, buah-buahan memanifestasikan anugerah dan karunia Allah, dan hewan mencerminkan empat sifat Ilahi; kehidupan, pengetahuan, keinginan, dan kekuasaan7.
Karena alam adalah lokus manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Ilahi, maka merusak alam berarti merusak “wajah” atau tanda (ayat) Tuhan di muka bumi. Manusia, terutama umat Islam, harus memperlakukan dengan baik karena ia adalah tangga untuk merenungi kemahakuasaan Allah. Renungan akan keindahan dan keharmonisan alam akan mengantarkan kaum Muslim menjadi orang-orang bertaqwa. Dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman, ”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,” (QS Al-Jatsiyah [45]:13). Ayat inilah yang menjadi landasan teologis pembenaran pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Islam tidak melarang memanfaatkan alam, namun ada aturan mainnya. Manfaatkan alam dengan cara yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab dalam melindungi alam dan lingkungannya serta larangan merusaknya7.
Manusia sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah, salah satu kewajiban atau tugasnya adalah membuat bumi makmur. Ini menunjukkan bahwa kelestarian dan kerusakan alam berada di tangan manusia. Dalam Islam (Al-Quran), hak mengelola alam tidak dapat dipisahkan dari kewajiban untuk memelihara kelestariannya (sinergi keduanya). Mengelola alam harus diiringi dengan usaha-usaha untuk melestarikannya. Banyaknya ayat Al-Quran yang membicarakan larangan merusak bumi, mengindikasikan kewajiban umat Islam untuk memelihara kelestarian dan keasrian bumi. Setiap perusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri sendiri. Tuntunan moral Islam dalam mengelola alam adalah larangan serakah dan menyia-nyiakannya (baca; QS Al-A’raf [7]:31 dan QS Al-Isra [17]:27), serta banyak penjelasan tentang lingkungan ini melalui hadist-hadist Nabi Muhammad SAW. Manusia harus mengiringi alam bertasbih memuji Allah, antara lain memelihara kelestarian alam dan mengarahkannya ke arah yang lebih baik (islah), dan bukannya melakukan perusakan di muka bumi (fasad fi al-ardl). Sekali lagi, Islam membolehkan pengelolaan bumi dan pemanfaatannya dengan syarat kelestarian dan keberlangsungannya, jangan sampai merusak habitat alam7.

A. Islam Agama Rahmatan Lil Alamin
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Anbiya ayat 107 yaitu:
لِلْعَالَمِينَ رَحْمَةً إِلا أَرْسَلْنَاكَ وَمَا
Yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam3.
Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah. Demikian tinggi, indah dan terperinci aturan Sang Maha Rahman dan Rahim ini, sehingga bukan hanya mencakup aturan bagi sesama manusia saja, melainkan juga terhadap alam dan lingkungan hidupnya3. Lihat saja sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam Hadis riwayat al-Imam al-Hakim, “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”. Burung tersebut mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dibunuh dan dilempar. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan? Dengan hewan saja tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia ini7. Dalam konteks inilah mungkin, ayat tersebut di atas mendapat maknanya yang lebih spesifik.
Menyitir ayat lain yang menyatakan bahwa Allah telah “menundukkan” alam semesta untuk manusia, bisa dimaknai bahwa pada sejak awal manusia turun ke dunia (alam semesta) ini, alam semesta telah berada dalam keadaan “sakral”. Karena, tentunya kata “menundukkan” tidak bisa dimaknai bahwa alam sebagai rival yang Tuhan tundukkan. Kata menundukkan dalam hal ini merupakan makna majazi yang bisa saja diartikan sebagai proses inisiasi, sakralisasi realitas propan. Oleh karena itu, pikiran dan prilaku yang berorientasi dan berakibat pada kerusakan alam merupakan pikiran dan prilaku kontra produktif dengan yang telah Allah lakukan. Konsep bahwa Allah telah menundukkan alam bagi manusia secara umum lebih dipahami secara konsumtif dan eksploitatif. Yaitu bahwa Allah menundukkan alam untuk (sehingga) manusia bisa menggunakannya secara optimal bagi kehidupan dan kesejahteraannya. Kehidupan dan kesejahteraan dalam makna yang sangat sempit yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Pemberdayaan sumber alam dengan tanpa rasa tanggung jawab1.
Dalam pandangan Islam, alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam kesetimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Bumi yang merupakan planet dimana manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya, terdiri atas berbagai unsur dan elemen dengan keragaman yang sangat besar dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi, sekaligus merupakan bukti Ke-Mahakuasaan dan Ke-Mahabesaran Sang Pencipta dan Pemelihara alam3.
Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang gaib dan supra-empirik. Alam mempunyai eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku tetap (qadar) bagi alam. Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling membutuhkan, saling terkait dengan makhluk yang lain. Dengan hadirnya Islam, maka alam ini tetap menjadi makmur sehingga kehidupan manusia akan tetap terjaga3.

B. Kewajiban Umat Islam Terhadap Lingkungan
Islam memang menyuruh kita untuk menjaga lingkungan dan juga meminta untuk terus kita lestrikan keseimbangannya. Sejak penciptaan alam semesta, Allah swt telah memberlakukan sunatullah bagi ciptaanNya sehingga senantiasa dalam keteraturan dan keseimbangan atau dikenal dengan “hukum alam”. Secara alamiah, alam akan memperbaiki dirinya sendiri bila terjadi ketidakseimbangan/ketidakteraturan akibat adanya kerusakan oleh alam itu sendiri dan manusia. Islam menganjurkan kita memelihara alam dan ekosistemnya. Bila ekosistem terpelihara dan terjaga baik maka akan memenuhi fungsinya dan mencapai dimaksud serta tujuan penciptaannya oleh Allah bagi kesejahteraan manusia dan makhluk lain pada masa sekarang dan mendatang. Tindakan manusia yang cenderung melampui batas dalam pemanfaatan potensi alam dapat mengakibatkan kerusakan dan menuai bencana5.
Tuntunan Islam tentang keseimbangan alam sangatlah jelas sebagaimana firman Allah swt: “Allah menjadikan tujuh langit, kamu sama sekali tidak melihat sesuatu yang tidak seimbang/serasi di dalam ciptaan Allah Yang Maha Rahman. Lihatlah berulang kali dengan teliti, adakah kamu temui sesuatu yang tidak seimbang/serasi” (QS. Al-Mulk: 3)5. 
Petikan ayat di atas menjelaskan bahwa alam semesta yang diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi. Kemudian, firman dalam ayat lain: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (Adam dari golongan manusia) di muka bumi... Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat...” (QS. Al-Baqarah: 30 dan 31)5.  
Dengan dasar itulah manusia diberikan Allah kemampuan menundukkan alam dan membangun konsep-konsep ilmiah dari yang bersifat abstrak hingga yang konkret yang menjadi dasar bagi perkembangan Iptek. Tunduknya alam di bawah kewenangan manusia dengan izin Allah, tidaklah serta merta memposisikan manusia sebagai penakluk dan alam sebagai yang ditaklukan. Tetapi kewenangan yang diberikan Sang Khalik adalah kewenangan untuk memanfaatkan maksud dan tujuan penciptaan alam tersebut5. 
Lingkungan menurut Islam mencakup semua usaha kegiatan manusia dalam sudut ruang dan waktu. Ruang lingkup lingkungan mencakup bumi, air, hewan dan tumbuh-tumbuhan serta semua yang ada di atas dan di dalam perut bumi, yang semuanya diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan  mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam rangka tanggung jawab sebagai khalifah Allah tersebut, manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara kelestarian alam. Seperti dalam firman Allah yang berbunyi:
الدُّنْيَا مِنَ نَصِيبَكَ تَنْسَ وَلا الآخِرَةَ الدَّارَ اللَّهُ آتَاكَ فِيمَا وَابْتَغِ
إِنَّ الأرْضِ فِي الْفَسَادَ تَبْغِ وَلا إِلَيْكَ اللَّهُ أَحْسَنَ كَمَا وَأَحْسِنْ
الْمُفْسِدِينَ يُحِبُّ لا اللَّهَ
Yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.  Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berbuat kerusakan” (Q.S. Al-Qashash: 77)3.
Allah mencipta dan menjadikan alam ini untuk kemaslahatan manusia, untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat baik jumlah maupun jenisnya. Ini sudah dapat dipastikan membutuhkan sumber daya alam yang tidak sedikit. Tetapi pemanfatannya haruskan dengan penuh kearifan dan perlu ada usaha memperbaikinya. Dengan adanya kearifan mengedepankan kelestarian alam, sehingga sumber daya alam tidak terkuras dan tidak merusak, bahkan justru dapat melestarikan potensi dan fungsi alam serta memelihara kebutuhan makhluk Tuhan. Akan tetapi segala kegiatan pembangunan yang dilakukan menurut hawa nafsu, tentunya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kelestarian dan keseimbangan alam ini harus menjadi tolok ukur dalam pembangunan dan agama menjadi pedomannya5.
Bagi umat Islam, usaha pelestarian lingkungan bukan hanya semata-mata karena tuntutan ekonomis atau politis atau karena desakan program pembangunan nasional.  Usaha pelestarian lingkungan harus dipahami sebagai perintah agama yang wajib dilaksanakan oleh manusia bersama-sama. Setiap usaha pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup secara baik dan benar adalah ibadah kepada Allah SWT yang dapat memperoleh karunia pahala. Sebaliknya, setiap tindakan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, pemborosan sumber daya alam, dan menelantarkan alam ciptaan Allah adalah perbuatan yang dimurkai-Nya3.
Allah swt berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Ar-Ruum: 41). “Apa saja musibah yang menimpa kamu, disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan itu” (QS. Asy-Syuura: 30)5.
Peringatan Allah dalam petikan ayat di atas cukup lugas dan keras. Allah akan menurunkan azab (bencana) di bumi bila manusia yang telah diberi amanah tidak mampu menjalankan amanah sesuai ketentuanNya, atau malah dengan sombong dan mengikuti hawa nafsu melakukan pengrusakan di muka bumi dengan dalih melakukan pembangunan5. 
Larangan merusak lingkungan alam terefleksi dalam konvensi keanekaragaman hayati yang ditandatangani oleh 153 negara pada Konferensi Rio de Janeiro, Brasil, menitikberatkan pada larangan merusak habitat hewan, tumbuhan dan lingkungan (alam). Sebenarnya Islam telah lebih awal mengajarkan agar manusia senantiasa berbuat baik pada makhluk lain (tumbuhan, hewan dan alam) seperti yang dikisahkan Al-Quran tentang Nabi Shalih AS, Daud AS, Sulaiman AS dan Nabi Muhammad SAW (santun terhadap tumbuhan, hewan dan alam)5.
Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia saja akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan dan mengabaikan asas pemeliharaan dan konservasi sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan dan konservasi alam dengan baik, maka baginya tersedia balasan ganjaran dari Allah SWT3.
Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, berhubungan pula dengan alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Tuhan (yakni: alam adalah ayat-ayat kauniyah Tuhan). Manusia juga memerlukan alam (misalnya: pangan, papan, sandang, alat transportasi dan sebagainya) sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah SWT. Hubungan manusia–alam ini adalah bentuk hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia adalah penguasa alam). Sementara itu alam berhubungan pula dengan Tuhan yang menciptakannya dan mengaturnya. Jadi alam pun tunduk terhadap ketentuan atau hukum-hukum atau qadar yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Memelihara alam. Agar manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya, manusia harus mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang alam. Dengan demikian, upaya manusia untuk bisa memahami alam dengan pengetahuan dan ilmu ini pada hakekatnya merupakan upaya manusia untuk mengenal dan mamahami yang Menciptakan dan Memelihara alam, agar bisa berhubungan denganNya3.

C. Sikap Ramah Lingkungan dalam Pandangan Islam
Melalui Kitab Suci Al-Qur’an, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Informasi tersebut memberikan sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah berikan kepada manusia semata-mata merupakan suatu amanah. Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap ramah lngkungan4. Sikap ramah lingkungan yang diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut: 
·      Agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya
Di dalam Al-Quran surat Ar Ruum ayat 9 Allah SWT berfirman: “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri4.”
Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat 9 di atas menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikhawatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya. Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim4.
Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani: Dari Abu Hurairah: “Jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih.” (HR. Thabrani). Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara. Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran udara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari pencemaran4.
·      Agar manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan
Di dalam surat Ar Ruum ayat 41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Kedua Firman Allah SWT ini menekankan agar manusia berlaku ramah terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini4.
Dari keterangan di atas, jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya. Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia4.
·      Agar manusia selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan
Di dalam Surat Huud ayat 117, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa Surat Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, tumpukan sampah dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di negara lain membuktikan bahwa Allah tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, melainkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang tidak berbuat kebaikan terhadap lingkungan4.
Sementara itu, pada surat Al-Baqarah ayat 30 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaanNya4.”
Al-Quran tidak mengenal istilah penaklukan alam karena secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia adalah Allah. Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan Allah4.

D. Kontemplasi Bagi Umat Islam 

Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara spiritual fiqhiyah Islamiyah, Allah SWT memiliki kepedulian ekologis yang paripurna. Paling tidak dua pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada campur tangan manusia. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11: yang artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan  yang ada pada diri mereka sendiri8.”
Umat Islam selalu berkeyakinan untuk tidak terperosok pada kesalahan yang kedua kalinya. Kejadian yang sangat dasyat yang kita alami akhir-akhir ini, sebut saja bencana alam Tsunami misalnya, pencemaran udara, pencemaran air dan tanah, serta sikap rakus pengusaha dengan menebang habis hutan tropis melalui aktifitas illegal logging, serta sederet bentuk kerusakan lingkungan hidup lainnya, haruslah menjadi pelajaran yang sangat berharga. Hal ini ditegaskan oleh dalam firmanNya di dalam surat Al-Hasyr ayat 2: yang artinya: ”Maka ambillah  (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” 
Bersikaplah menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya, tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan, dan selalu membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan8.  
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa kasih sayang kepada binatang dan tumbuhan dalam rangka memelihara dan melindungi lingkungan hidup, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam ajaran agama khususnya Islam. Ajaran ini berasal dari konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda yang tidak bernyawa lainnya, semuanya adalah makhluk Tuhan, dan semuanya tunduk kepada-Nya2.

II.2.2 PANDANGAN KRISTEN DAN KATOLIK
Sebagai mahkota ciptaan, manusia diberi mandat oleh Allah untuk menaklukkan dan menguasai bumi beserta isinya. Penaklukkan dan penguasaan disini bukanlah penaklukkan dan penguasan tanpa batas melainkan di dalamnya terdapat unsur pemeliharaan dan perlindungan terhadap bumi dan segala isinya. Mengapa? Sebab manusia dijadikan menurut gambar dan rupa Allah adalah untuk memelihara lingkungan hidupnya disamping memanfaatkannya dan bukan merusaknya2.
Iman Kristen memahami kerusakan lingkungan hidup sebagai bagian dan wujud dari perilaku manusia yang tidak sejalan dengan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta. Memelihara bumi dan tidak merusak ekosistem adalah bukti penguasaan diri manusia. Dunia adalah tempat tinggal bersama yang sesama penghuninya hidup bergantung. Wujud kuasa manusia atas alam terlihat dalam batasan mandat untuk memeliharanya. Perilaku ramah lingkungan adalah bagian iman, salah satu ujian iman yang membumi. Maka, bencana alam yang sedang mendera kita bukan hanya fenomena alam, tetapi karena kelalaian kita sebagai pelaksana mandat Allah untuk mengelola bumi ini sebaik mungkin2.
Alkitab memperingatkan bahwa kerusakan alam selama ini adalah karena ulah dan kejahatan manusia. Mazmur (107:33-34), misalnya, menyatakan: “Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang, tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya“. Alkitab sebenarnya tidak pernah menyaksikan bahwa Tuhan memberikan hak kepada manusia untuk menguasai dan mengusahakan alam dan sumber dayanya secara eksploitatif dan seenaknya. Sebaliknya, manusia dituntut tanggung jawabnya untuk memelihara dan mengasihi segala ciptaan-Nya8.
Dalam umat Kristiani (Katholik) dikenal Santo Francis Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa:” Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang kemana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungimu dari mara bahaya dan mengatur hidupmu tanpa kamu merasakannya.1
Didalam Kejadian 1:1 – 2:3 memperlihatkan bahwa seluruh ciptaan Allah pada hakikatnya adalah baik. Ini berarti pada setiap ciptaanNya itu terdapat harkat dan martabat yang harus dihargai oleh ciptaan lainnya karena Allah memberikan dan menyatakannya. Selain itu, pada segenap ciptaanNya Ia menetapkan struktur keseimbangan dan saling ketergantungan antara satu ciptaan dengan ciptaan lainnya2.
Pada kejadian 9:8 dan 17 diceritakan bahwa Allah mengikat perjanjian tidak saja kepada Nuh dan keluarganya (manusia) melainkan juga kepada segenap alam ciptaanNya. Manusia diciptakan sebagai bagian dari seluruh ciptaan sekaligus sebagai penatalayan ciptaan Allah yang lain (Kejadian 1:26-27; 2:7); ditugaskan untuk memakai dan memelihara bumi/ciptaan lain (Kejadian 2:15), tidak semata-mata untuk menguasai dan menaklukkannya. Aspek khusus dari penciptaan manusia sebagai Gambar Allah dinampakkan dalam tugas memelihara dan menjaga ciptaan seperti Allah memelihara ciptaan-Nya. Pandangan ini melampaui lukisan bahwa manusia boleh memperlakukan alam semena-mena, melainkan manusia harus menghargainya yang mempunyai nilai yang tinggi sebagai ciptaan Allah. Kejadian 1:2 tidak memberitakan bahwa Allah menciptakan dari ketiadaan melainkan Ia mengubah ”Chaos” (ketidakberaturan) menjadi sesuatu yang berbentuk baik. Sebagai wakil Allah di Bumi, manusia bertanggung jawab untuk mengontrol aneka kekuatan chaos. Perspektif lingkungan dalam Kitab Kejadian sering dibaca berat sebelah dengan menekankan penguasaan manusia atas alam. Padahal, nuansa kekuatan dalam verba “menaklukkan” dan “menguasai” lebih berarti agar manusia menyelidiki alam, mempelajari hukum-hukumnya, mengeksplorasinya. Dalam aras pemikiran ini maka manusia dapat berpartisipasi dalam penciptaan apabila mengubah yang tidak berbentuk menjadi berbentuk, dari yang kotor menjadi bersih ,dan dari yang layu menjadi segar dan berbuah2.
Perjanjian Baru sendiri mempunyai pandangan yang positif terhadap alam. Di dalam Injil dan Surat Rasuli ditegaskan bahwa kedatangan Yesus Kristus ke dunia untuk menebus/ menyelamatkan seluruh dunia (Yohanes 3:16), dan bahwa pendamaian yang dilakukan Yesus Kristus di salib adalah untuk seluruh dunia/ciptaan (II Korintus 5:19; Kolose 1:20). Ini berarti tindakan penyelamatan Alah tidak saja ditujukan kepada manusia melainkan juga kepada ciptaan Allah lainnya. Oleh sebab itu, manusia hendaknya mempunyai relasi yang baik dengan alam ciptaan Tuhan2.

II.2.3 PANDANGAN HINDU
Di dalam Mahabaratha terdapat keterangan bahwa alam adalah pernberi segala keinginan dan alam adalah sapi perah yang selalu mengeluarkan susu (kenikmatan) bagi yang menginginkannya. Ungkapan ini mengandung arti bahwa bumi atau alam yang diibaratkan sebagai sapi perah harus dipelihara dengan baik sehingga banyak mengeluarkan kebutuhan yang diperlukan oleh manusia. Kalau sapi perah itu tidak dipelihara, apalagi dibantai, niscaya ia tidak akan mengeluarkan susu lagi untuk kehidupan manusia. Dengan kata lain, alam ini apabila dieksploitasi akan membuat manusia sengsara4. Beberapa contoh ajaran Hindu yang berkaitan dengan lingkungan yaitu1:
Jangan menebang pohon karena mereka melenyapkan polusi  ~ Rig Veda, 6:48:17.
Penghancuran hutan dapat dianggap sebagai pengrusakan negara dan penanaman hutan kembali adalah tindakan untuk membangun kembali dan membuat kemajuan.
~ Charak Sanhita
Bila hanya ada satu pohon dengan bunga dan buah di dalam sebuah desa, tempat itu patut Anda hargai ~ Mahabharata.
Bumi adalah Ibu kita dan kita semua adalah Anak-Anaknya ~ Vedic dictum.
Seseorang yang menanam satu peepal, satu neem, sepuluh tanaman bunga atau tanaman yang merambat, dua pohon delima, dua jeruk, dan lima mangga, tidak akan pergi ke neraka ~ Varaha Purana.
Sungai-sungai adalah pembuluh darah Tuhan, samudra adalah darah-Nya, dan pohon-pohon adalah rambut di tubuh-Nya. Udara adalah nafas-Nya, bumi adalah daging-Nya, langit adalah perut-Nya, bukit-bukit dan pegunungan adalah sumsum tulang-Nya, dan waktu yang berlalu adalah gerakan-Nya ~ Srimad Bhagavatam 2.1.32-33.

II.2.4 PANDANGAN BUDDHA
Dalam Karaniyametta Sutta disebutkan, “…hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia“. Hal ini mengandung arti bahwa agama Budha menolak terjadinya pencemaran dan perusakan alam dan segenap potensinya8.  Beberapa contoh ajaran Buddha yang berkaitan dengan lingkungan yaitu1:
Maka, dengan hati tanpa batas, seseorang seharusnya menghargai semua makhluk hidup, memancarkan kebaikan ke seluruh dunia, menyebarkannya hingga ke atas langit, dan ke bagian Bumi yang terdalam, ke luar dan tak terbatas ~ Sutra Kasih, "Kebaikan Hati".
 Jika kita dapat melihat keajaiban dari sekuntum bunga dengan jelas, seluruh hidup kita akan berubah ~ Buddha Siddhartha, Kitab Tipitaka, 80 S.M.
Rajah Koravya memiliki sebuah pohon raja banyan yang dinamakan Tabah, dan kerindangan yang diberikan oleh cabang-cabang yang melebar sangatlah menyejukkan dan menyenangkan. Daunnya rimbun sampai dua belas gerombol... Tidak ada yang menjaga buahnya, dan tidak ada yang menyakiti yang lain demi buahnya. Kini datanglah seorang manusia yang memakan buah untuk mengisi perutnya, mematahkan sebuah cabang, dan pergi. Roh yang mendiami pohon itu berpikir, “Betapa menakjubkannya, betapa mengherankannya, di mana seorang manusia dapat menjadi sedemikian jahatnya hingga mematahkan satu cabang pohon ini, setelah mengenyangkan perutnya. Menganggap pohon ini tidak berbuah lagi.” Lalu sang pohon itu tidak berbuah lagi.
~Anguttara Nikaya iii.368
Seperti lebah yang mengumpulkan madu dengan tidak merusak atau mengusik warna dan aroma sang bunga; begitu jugalah cara orang yang bijak bergerak melewati dunia.
~ Sang Buddha, Dhammapada: Bunga-Bunga, ayat 49
Hutan adalah makhluk hidup yang khas dengan kebaikan dan kebajikan tak terbatas yang tak meminta makanan untuk menghidupinya dan dengan murah hati menawarkan apa yang dihasilkan oleh hidupnya; ia memberikan perlindungan pada semua makhluk.
~ Sutra Buddhis

III. KESIMPULAN
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Agama adalah sesuatu yang bukan hanya sekedar kepercayaan terhadap sesuatu yang transenden (Tuhan) atau kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Agama juga harus berarti orientasi terhadap kosmos dan bagaimana peran manusia di dunia. Dalam arti yang luas, agama juga memiliki makna tentang bagaimana manusia mengenal batas-batas realitas dan bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya.
Kecenderungan kerusakan lingkungan hidup dewasa ini semakin masif dan kompleks, baik di pedesaan maupun perkotaan. Memburuknya kondisi lingkungan hidup secara terbuka diakui mempengaruhi dinamika sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat, baik di tingkat komunitas, regional, maupun nasional. Dalam hal ini Agama berperan besar untuk mengarahkan dan menjadi pedoman, agar manusia lebih menyadari akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Kegiatan penyelamatan lingkungan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap ajaran agama. Dalam konteks keislaman, penyelamatan lingkungan merupakan bagian dari kegiatan penghambaan diri (ibadah) dan pemenuhan tugas sebagai khalifatullah fil ardl. Setiap umat Islam, harus aktif dalam kegiatan penyelamatan lingkungan sebagai bagian dari keterpanggilan dakwah dan penegakan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, peranan tokoh dan pemuka agama perlu ditingkatkan lagi dalam hal pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz CA. 2011. Manfaat lingkungan hidup menurut berbagai agama [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://cecepabdulaziz.blogspot.com/2011/07/manfaat-lingkungan-hidup-menurut.html#.Uk0wb9IbCWE.

2. Dian, Aditya, Yordan, Widiya dan Setya. 2011. Makalah lingkungan hidup. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

3.  Gustami R. 2012. Bagaimana pandangan islam terhadap lingkungan hidup [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://blog.umy.ac.id/reynaldigustami/2012/12/14/bagaimana-pandangan-islam-terhadap-lingkungan-hidup/.

4. Hasibuan AS. 2008. Lingkungan hidup dalam perspektif agama [internet]. [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari:  http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=393.

5.  Http://aceh.tribunnews.com/2013/01/11/pandangan-islam-tentang-menjaga-lingkungan-hidup.

6. Miftahulhaq. 2012. Agama dan penyelamatan lingkungan [internet].           [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://muhammadiyahgoesgreen.blogspot.com/2012/04/agama-dan-penyelamatan-lingkungan.html.

7. Setyawan H. 2012. Pandangan islam tentang lingkungan [internet].            [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://herusetyawan1.blogspot.com/2012/12/makalah-pandangan-islam-tentang.html.

8. Syah B. 2007. Ramah lingkungan dalam pandangan islam [internet].          [diacu 2013 Oktober 3]. Tersedia dari: http://bennysyah.edublogs.org/2007/01/06/ramah-lingkungan-dalam-pandangan-islam/

Tidak ada komentar: