Kamis, 08 Agustus 2013

Minum Jamu: Sehat, Aman dan Berbudaya


Mbok jamu…Mbok jamu, bawa apa dibakulmu. Minum jamu tiap hari badan sehat dan berseri...
Kira-kira begitulah bunyi sepenggal syair lagu, yang saya kutip dari sebuah lagu anak-anak di era 80-an. Era dimana saat itu saya masih duduk di bangku SD. Sudah lumayan jadul memang, hingga saya pun sedikit lupa dengan isi lengkap dari syair lagu itu. Sepanjang ingatan saya, lagu itu bejudul ‘Mbok Jamu’ (silahkan dikoreksi jika salah), sebuah lagu yang dinyanyikan oleh sepasang anak perempuan kembar, yang cukup terkenal sebagai artis cilik di zamannya. Menelisik lagu itu lebih seksama, sepertinya ada pesan moril yang hendak disampaikan oleh si empunya lagu itu khususnya buat anak-anak Indonesia. Jika saya mencoba menelaah dengan bahasa saya sendiri maksud penciptaan lagu tersebut pada saat itu adalah “Mengenalkan budaya minum jamu kepada masyarakat Indonesia yang bisa dimulai sejak dini, yaitu dari masa anak-anak”.
Jamu dan budaya minum jamu di era 80an belum sefamiliar seperti sekarang ini. Mendengar kata jamu, dua hal yang dulu terlintas di fikiran saya adalah “Jawa dan daun-daunan”. Ya, bagi sebagian dari kita khususnya yang berasal dari luar pulau Jawa, jamu selalu diidentikkan dengan “orang Jawa”. Tidak salah memang, karena tradisi meracik dan meminum jamu adalah warisan budaya leluhur Jawa sejak zaman kerajaan Hindu ratusan tahun lalu. Menurut apa yang pernah saya baca, jamu berasal dari bahasa Jawa yang merujuk kepada ramuan tradisional dari tumbuh-tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit atau untuk keperluan kecantikan/kebugaran tubuh. Tradisi minum jamu sangat melekat dan identik dengan budaya Jawa.
Sementara bagi kalangan non Jawa, kalaupun meminum air rebusan daun-daunan atau akar-akaran untuk keperluan mengobati penyakit, umumnya tidak menyebutnya dengan istilah minum jamu. Hal ini mungkin yang kemudian mengilhami pencipta lagu anak-anak di atas pada masa itu untuk membuat sebuah lagu bertema “minum jamu” untuk lebih memperkenalkan jamu secara lebih luas ke masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
Begitu juga dengan pengalaman apa yang saya lihat dan dengar dari lingkungan sekitar saya, sejak kecil sebagai orang Sulawesi. Tidak seperti di sebuah keluarga Jawa, kami khususnya di keluarga saya, tidak mengenal budaya minum jamu. Terkadang jika di antara anggota keluarga kami ada yang sakit dan harus meminum air rebusan daun-daunan, kami tidak menyebutnya itu dengan jamu. Meskipun jika merujuk kepada pengertian jamu itu sendiri, apa yang kami minum itu sudah bisa digolongkan jamu. Karena di Sulawesi saat itu pada masa orde baru banyak penduduk transmigrasi yang berasal dari pulau Jawa, kami pun mulai mengenal jamu dari orang-orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah kami. Masyarakat transmigran Jawa-lah yang kami ketahui mulai mengkonsumsi jamu untuk berbagai macam keperluan. Hingga kemudian lagu anak-anak ‘Mbok Jamu’ itu muncul di TVRI yang membuat kami semakin mengenal istilah jamu. Oleh karena itulah, kami selalu mengidentikkan jamu dengan “orang Jawa”.
Jika ditanya tentang pengalaman saya minum jamu, kembali seperti apa yang saya uraikan di atas. Merujuk dari istilah jamu untuk ramuan dari tumbuh-tumbuhan, di keluarga saya jika terkena diare, kami biasa menggunakan daun jambu biji yang direbus kemudian airnya diminum. Pahit memang, tapi obat tradisional itu lumayan ampuh menghentikan diare. Ketika Bapak saya masih hidup, di masa-masa tuanya beliau terserang penyakit diabetes komplikasi hipertensi yang cukup lama dideritanya hingga ajal menjemputnya. Bertahun-tahun saya melihat berbagai macam obat-obatan yang diminumnya, mulai dari obat tradisional sampai obat dari dokter. Khusus obat tradisional, saat itu terkadang saya jumpai Bapak saya meminum air rebusan akar-akaran. Sayangnya, saya tidak begitu tahu nama akar-akaran itu. Bentuk akarnya bulat memanjang, sepintas terlihat seperti batang ubi kayu (singkong) tapi diameternya lebih kecil. Jika dikupas kulit akarnya, akan tampak bagian kambiumnya yang berwarna kuning oranye. Hanya saja, untuk memperolehnya Bapak saya meminta orang untuk dicarikan di tengah hutan tempat akar-akaran itu tumbuh. Satu yang pasti, air rebusan akar-akaran itu sangat pahit karena disaat saya melihat Bapak saya meminumnya, lidahnya sampai dijulurkan keluar sebagai gerak reflex setelah meminum sesuatu yang rasanya sangat pahit. Selain itu, di halaman rumah kami pada masa itu, tumbuh beberapa tanaman obat yang ditanam oleh Ibu saya seperti kumis kucing dan kaca piring. Menurut ibu saya, tanaman-tanaman itu sengaja ditanam untuk digunakan sebagai  obat buat Bapak saya, mengingat penyakit diabetes dan hipertensi yang dideritanya membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit jika hanya mengandalkan obat dari dokter. Hingga kemudian di masa dewasa saya sekitar tahun 2010 lalu, saat saya mulai berdomisili di salah satu kota di pulau Jawa, saya pun mulai mengenal budaya minum jamu. Beras kencur, itulah jamu yang pertama kali saya minum dan saya langsung tertarik untuk terus meminumnya disaat saya merasa membutuhkannya. Ketertarikan saya atas jamu beras kencur karena tidak seperti apa yang tertanam dalam fikiran saya tentang jamu yang rasanya selalu pahit, jamu beras kencur adalah pengecualian. Menurut saya rasanya enak, manis asam dan aromanya pun masih bersahabat dihidung. Mungkin karena bahan utamanya dari beras, yang kita sama-sama tahu ada kandungan glukosa, sehingga ada rasa manisnya dan lumayan bisa diterima di lidah kalangan non jawa seperti saya. Disamping itu tentu saja khasiatnya, yang dapat menyembuhkan pegal-pegal, menjadikan jenis jamu yang satu ini sebagai jamu favorit saya.
Sekarang ini, perkembangan jamu sudah sedemikian pesat. Jamu semakin dikenal meluas di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak hanya masyarakat Jawa saja, masyarakat di luar Jawa pun sudah familiar dan mulai terbiasa meminum jamu. Di dunia medis, saat ini jamu lebih dikenal dengan istilah herbal. Paradigma masyarakat moderen yang kini telah beralih ke “back to nature”, menjadikan jamu sebagai ramuan tradisional khas Indonesia semakin dilirik untuk penyembuhan berbagai macam penyakit maupun untuk tujuan lain seperti kecantikan dan kebugaran tubuh. Saat ini cukup banyak tersedia berbagai macam obat-obatan dan suplemen yang bahan dasarnya adalah jamu. Pengobatan penyakit dengan menggunakan 100% bahan alami seperti jamu atau herbal, diyakini lebih ampuh dan aman ketimbang harus menggunakan obat-obatan berbahan kimia. Beruntunglah, dengan semakin pesat perkembangan ilmu pengetahun, kini sudah banyak jamu yang tersedia dalam bentuk kemasan, ini tentu memudahkan kita yang ingin memperoleh bahan pengobatan alami. Meskipun demikian, meminum jamu yang langsung diracik oleh pembuatnya, bagi saya rasanya jauh lebih enak. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, saya turut berbangga dengan keberadaan jamu sebagai salah satu dari warisan leluhur nenek moyang kita, yang saat ini juga sedang dalam tahap pengusulan ke lembaga PBB Unesco untuk dimasukkan ke dalam "warisan budaya dunia". Upaya untuk mendukung hal tersebut terus dilakukan oleh berbagai elemen, salah satunya melalui riset dan inovasi tanaman obat khas Indonesia yang dilakukan oleh lembaga penelitian di tingkat perguruan tinggi yaitu Pusat studi Biofarmaka IPB. Semoga saja, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, jamu dapat terus dikembangkan dan digunakan secara meluas dalam dunia medis serta dapat dilestarikan sampai ke anak cucu kita nanti.
Referensi: 

2 komentar:

MICE mengatakan...

Makasih kak postingan ini sangat keren dan sangat membantu saya

Sahbuddin Dg. Palabbi mengatakan...

Sama-sama senang kalau tulisan ini bermanfaat