Minum Jamu: Sehat, Aman dan Berbudaya
Mbok jamu…Mbok jamu, bawa apa dibakulmu. Minum
jamu tiap hari badan sehat dan berseri...
Kira-kira begitulah bunyi sepenggal syair lagu, yang saya
kutip dari sebuah lagu anak-anak di era 80-an. Era dimana saat itu saya masih
duduk di bangku SD. Sudah lumayan jadul
memang, hingga saya pun sedikit lupa dengan isi lengkap dari syair lagu itu. Sepanjang
ingatan saya, lagu itu bejudul ‘Mbok Jamu’ (silahkan dikoreksi jika salah),
sebuah lagu yang dinyanyikan oleh sepasang anak perempuan kembar, yang cukup
terkenal sebagai artis cilik di zamannya. Menelisik lagu itu lebih seksama,
sepertinya ada pesan moril yang hendak disampaikan oleh si empunya lagu itu
khususnya buat anak-anak Indonesia. Jika saya mencoba menelaah dengan bahasa
saya sendiri maksud penciptaan lagu tersebut pada saat itu adalah “Mengenalkan
budaya minum jamu kepada masyarakat Indonesia yang bisa dimulai sejak dini, yaitu dari masa anak-anak”.
Jamu dan budaya minum jamu di era 80an belum sefamiliar
seperti sekarang ini. Mendengar kata jamu, dua hal yang dulu terlintas di fikiran
saya adalah “Jawa dan daun-daunan”. Ya, bagi sebagian dari kita khususnya yang
berasal dari luar pulau Jawa, jamu selalu diidentikkan dengan “orang Jawa”. Tidak salah memang, karena tradisi meracik dan
meminum jamu adalah warisan budaya leluhur Jawa sejak zaman kerajaan Hindu ratusan
tahun lalu. Menurut apa yang pernah saya baca, jamu berasal dari bahasa Jawa
yang merujuk kepada ramuan tradisional dari tumbuh-tumbuhan untuk menyembuhkan
penyakit atau untuk keperluan kecantikan/kebugaran tubuh. Tradisi minum jamu
sangat melekat dan identik dengan budaya Jawa.
Sementara bagi kalangan non Jawa,
kalaupun meminum air rebusan daun-daunan atau akar-akaran untuk keperluan
mengobati penyakit, umumnya tidak menyebutnya dengan istilah minum jamu. Hal
ini mungkin yang kemudian mengilhami pencipta lagu anak-anak di atas pada masa
itu untuk membuat sebuah lagu bertema “minum jamu” untuk lebih memperkenalkan
jamu secara lebih luas ke masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
Begitu juga dengan pengalaman apa yang saya lihat dan dengar
dari lingkungan sekitar saya, sejak kecil sebagai orang Sulawesi. Tidak seperti
di sebuah keluarga Jawa, kami khususnya di keluarga saya, tidak mengenal budaya
minum jamu. Terkadang jika di antara anggota keluarga kami ada yang
sakit dan harus meminum air rebusan daun-daunan, kami tidak menyebutnya
itu dengan jamu. Meskipun jika merujuk kepada pengertian jamu itu sendiri, apa yang kami minum itu sudah bisa digolongkan
jamu. Karena di Sulawesi saat itu pada masa orde baru banyak penduduk
transmigrasi yang berasal dari pulau Jawa, kami pun mulai mengenal jamu dari
orang-orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah kami. Masyarakat transmigran
Jawa-lah yang kami ketahui mulai mengkonsumsi jamu untuk berbagai macam
keperluan. Hingga kemudian lagu anak-anak ‘Mbok Jamu’ itu muncul di TVRI yang
membuat kami semakin mengenal istilah jamu. Oleh karena itulah, kami selalu
mengidentikkan jamu dengan “orang Jawa”.
Jika ditanya tentang pengalaman saya minum jamu, kembali seperti
apa yang saya uraikan di atas. Merujuk dari istilah jamu untuk ramuan dari tumbuh-tumbuhan,
di keluarga saya jika terkena diare, kami biasa menggunakan daun jambu biji yang
direbus kemudian airnya diminum. Pahit memang, tapi obat tradisional itu
lumayan ampuh menghentikan diare. Ketika Bapak saya masih hidup, di masa-masa
tuanya beliau terserang penyakit diabetes komplikasi hipertensi yang cukup lama
dideritanya hingga ajal menjemputnya. Bertahun-tahun saya melihat berbagai
macam obat-obatan yang diminumnya, mulai dari obat tradisional sampai obat dari
dokter. Khusus obat tradisional, saat itu terkadang saya jumpai Bapak saya meminum
air rebusan akar-akaran. Sayangnya, saya tidak begitu tahu nama akar-akaran itu. Bentuk
akarnya bulat memanjang, sepintas terlihat seperti batang ubi kayu (singkong)
tapi diameternya lebih kecil. Jika dikupas kulit akarnya, akan tampak bagian kambiumnya
yang berwarna kuning oranye. Hanya saja, untuk memperolehnya Bapak saya meminta
orang untuk dicarikan di tengah hutan tempat akar-akaran itu tumbuh. Satu yang pasti,
air rebusan akar-akaran itu sangat pahit karena disaat saya melihat Bapak saya
meminumnya, lidahnya sampai dijulurkan keluar sebagai gerak reflex setelah
meminum sesuatu yang rasanya sangat pahit. Selain itu, di halaman rumah kami pada masa itu, tumbuh beberapa tanaman obat yang ditanam oleh Ibu saya seperti kumis kucing dan kaca piring. Menurut ibu saya, tanaman-tanaman itu sengaja ditanam untuk digunakan sebagai obat buat Bapak saya, mengingat penyakit diabetes dan hipertensi yang dideritanya membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit jika hanya mengandalkan obat dari dokter. Hingga kemudian di masa dewasa saya sekitar tahun 2010 lalu, saat saya mulai berdomisili
di salah satu kota di pulau Jawa, saya pun mulai mengenal budaya minum jamu.
Beras kencur, itulah jamu yang pertama kali saya minum dan saya langsung
tertarik untuk terus meminumnya disaat saya merasa membutuhkannya. Ketertarikan
saya atas jamu beras kencur karena tidak seperti apa yang tertanam dalam
fikiran saya tentang jamu yang rasanya selalu pahit, jamu beras kencur adalah
pengecualian. Menurut saya rasanya enak, manis asam dan aromanya pun masih
bersahabat dihidung. Mungkin karena bahan utamanya dari beras, yang kita
sama-sama tahu ada kandungan glukosa, sehingga ada rasa manisnya dan lumayan
bisa diterima di lidah kalangan non jawa seperti saya. Disamping itu tentu saja
khasiatnya, yang dapat menyembuhkan pegal-pegal, menjadikan jenis jamu yang
satu ini sebagai jamu favorit saya.
Sekarang ini, perkembangan jamu sudah sedemikian pesat. Jamu
semakin dikenal meluas di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak hanya masyarakat
Jawa saja, masyarakat di luar Jawa pun sudah familiar dan mulai terbiasa meminum
jamu. Di dunia medis, saat ini jamu lebih dikenal dengan istilah herbal. Paradigma
masyarakat moderen yang kini telah beralih ke “back to nature”, menjadikan jamu sebagai ramuan tradisional khas
Indonesia semakin dilirik untuk penyembuhan berbagai macam penyakit maupun
untuk tujuan lain seperti kecantikan dan kebugaran tubuh. Saat ini cukup banyak
tersedia berbagai macam obat-obatan dan suplemen yang bahan dasarnya adalah
jamu. Pengobatan penyakit dengan menggunakan 100% bahan alami seperti jamu atau
herbal, diyakini lebih ampuh dan aman ketimbang harus menggunakan obat-obatan
berbahan kimia. Beruntunglah, dengan semakin pesat perkembangan ilmu pengetahun,
kini sudah banyak jamu yang tersedia dalam bentuk kemasan, ini tentu memudahkan
kita yang ingin memperoleh bahan pengobatan alami. Meskipun demikian, meminum
jamu yang langsung diracik oleh pembuatnya, bagi saya rasanya jauh lebih enak. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, saya
turut berbangga dengan keberadaan jamu sebagai salah satu dari warisan leluhur nenek moyang kita, yang saat ini juga sedang dalam tahap pengusulan ke lembaga PBB Unesco untuk dimasukkan ke dalam "warisan budaya dunia". Upaya untuk mendukung hal tersebut terus dilakukan oleh berbagai elemen, salah satunya melalui riset dan inovasi tanaman obat khas Indonesia yang dilakukan oleh lembaga penelitian di tingkat perguruan tinggi yaitu Pusat studi Biofarmaka IPB. Semoga saja, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, jamu dapat terus dikembangkan dan digunakan secara meluas dalam dunia medis serta dapat dilestarikan sampai ke anak cucu kita nanti.
2 komentar:
Makasih kak postingan ini sangat keren dan sangat membantu saya
Sama-sama senang kalau tulisan ini bermanfaat
Posting Komentar